Kenapa NU Tolak Kebijakan Sekolah Delapan Jam
- VIVA.co.id/ Moh. Nadlir.
VIVA.co.id – Nadhlatul Ulama tak sepakat dengan wacana sekolah delapan jam sehari. Alasan pertama, NU menilai wacana itu tidak sejalan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 35 tentang Guru dan Dosen yang menyebut beban kerja guru sekurangnya 24 jam dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
"Maka kebijakan lima hari sekolah atau delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar kepada jumlah jam mengajar guru di sekolah melampaui batasan yang telah diatur dalam UU yang dimaksud," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj di kantor PBNU di Kramat, Jakarta Pusat, Kamis 15 Juni 2017.
Menurut kajian dan pemantauan intensif yang mereka lakukan, fakta di lapangan menunjukkan mayoritas sekolah belum siap dalam rangka menerima kebijakan ini. Kesiapan itu disebut menyangkut banyak hal, termasuk yang terkait fasilitas yang menunjang kebijakan ini.
Alasan penolakan selanjutnya, adalah kebijakan ini terlalu didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak kota seharian penuh ditinggalkan oleh orang tuanya, sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam pergaulan bebas. Menurut NU, asumsi ini tidak sepenuhnya benar.
"Sebab pada kenyataannya kota-kota besar di Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi, nilai-nilai, dan pendidikan agama yang sudah berlangsung selama ini," ujar Said Aqil.
Said Aqil menegaskan tidak semua orang tua peserta didik bekerja sehari penuh. Dia mencontohkan masyarakat di pedesaan yang para orangtuanya tidak bekerja seharian penuh, sehingga punya cukup waktu berinteraksi dengan anak-anaknya.
"Belajar tidak selalu identik dengan sekolah. Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter, sehingga mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini," kata Said Aqil.
Menurut dia, tindakan menggeneralisir bahwa seluruh siswa mengalami masa-masa sendirian di tengah penantian terhadap orang tua mereka yang sedang bekerja adalah tindakan yang keliru.
"Asumsi (kebijakan) ini berasal dari pemahaman yang keliru bahwa seluruh orang tua siswa adalah pekerja kantoran. Padahal, jumlah masyarakat perkotaan hanyalah sejumput saja," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengeluarkan kebijakan jumlah hari sekolah akan dipangkas menjadi lima hari. Yakni dari Senin hingga Jumat.
Namun, jam pelajaran setiap harinya ditambah menjadi minimum delapan jam, sehingga para siswa bisa libur selama dua hari pada Sabtu dan Minggu.