Selawat Radat, Syiar Peninggalan Raja Kraton Yogyakarta

Pembacaan Selawat Radat di Masjid Pathok Negoro Plosokuning Ngaglik Sleman
Sumber :
  • Andri Prasetiyo

VIVA.co.id – Indonesia memang kaya tradisi seni budaya yang telah terakulturasi dengan agama Islam. Salah satunya adalah Selawat Radat, yang merupakan peninggalan Raja Pertama Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Selawat Radat menjadi bagian tak terpisahkan dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning Ngaglik Sleman. Tradisi ini selalu hadir saat Ramadan dan dilantunkan sambil menunggu waktu berbuka puasa.

"Setiap puasa selalu kita lantunkan Selawat Radat ini, sambil menunggu waktu berbuka," kata Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Kamaludin Purnomo, Senin, 29 Mei 2017.

Selawat Radat berasal dari kata Iradat atau Ar-Raudhah, yang berarti tempat yang mulia. Selawat Radat diperkenalkan pertama kali pada 1724 oleh Sri Sultan HB I, Raja Pertama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kala itu, Sultan mengenalkan Selawat Radat saat menyerahkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning kepada masyarakat setempet. Selain diberi masjid, beberapa orang tertentu juga dibekali dengan tradisi dan kesenian Jawa sebagai alat dakwah agama Islam.

"Selawat Radat ini merupakan kreasi para leluhur yang berisi dzikir, syair, serta dipadukan dengan gerakan dan musik. Ini merupakan perpaduan antara Selawat Burdah dan Tari Saman di Aceh," katanya.

Tidak ada batasan waktu dan jumlah orang untuk memainkan Selawat Radat. Yang dibutuhkan hanya penabuh alat musik rebana, pelantun selawat, dan penari. Para penarinya menggunakan kipas yang dimainkan dengan gerakan tertentu secara teratur. Kipas merupakan simbol membuang pikiran kotor dan jahat, sehingga hati menjadi bersih.

Selawat Radat memiliki 19 gerakan dan syair, di antaranya As-Shallah, Ilkhumsatun, serta Sanakol.

"Maknanya berisi tentang petuah hidup, introspeksi, hingga menyembuhkan penyakit hati," kata Kamaludin.

Pada masa penjajahan, Selawat Radat dimainkan sebagai alat eksistensi untuk menunjukkan jika bangsa Indonesia telah merdeka. Lalu pada masa pemberontakan PKI, Sholawat ini juga sempat booming sebagai alat perjuangan melawan kesenian Lekra.

"Dulunya bahkan dipercaya sebagai tolak bala dari segala macam bencana alam," ujarnya.

Seiring perkembangan zaman, Selawat Radat semakin jarang dimainkan, kecuali saat Ramadan seperti sekarang. Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning berencana menggelar festival Selawat Radat Nusantara.

"Insya Allah akan kami usahakan menggelar festival yang menampilkan berbagai macam gerakan," katanya.

Laporan: Andri Prasetiyo/Sleman Yogyakarta.