Lembaga Sensor Awasi Film Berkonten Radikal
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id - Selama ini Lembaga Sensor Film identik dengan urusan pemotongan adegan atau gambar dalam sebuah film yang mengarah pada asusila dan pornografi. Padahal, lebih dari itu, LSF juga menganalisis dan menyensor film atau karya sinematografi lain yang berpengaruh negatif terhadap publik, seperti kandungan radikalisme.
Ketua Lembaga Sensor Film, Ahmad Yani Basuki, mengatakan bahwa produk seni dan budaya kategori sinematografi perlu dipantau mengingat medium yang dijadikan alat untuk mempublikasikannya kian canggih dan banyak. Tidak hanya melalui bioskop dan televisi, tetapi juga karya seni dengan format video yang dibuat dan diunggah melalui media sosial.
LSF, kata Yani, memiliki peran penjaga masyarakat dari penetrasi budaya yang mengandung konten negatif. Harus diakui, pengaruh film, iklan, atau produk seni yang dipertunjukkan ke khalayak luas berpengaruh kepada masyarakat. "Termasuk konten-konten radikalisme dalam film juga dalam pantauan LSF," katanya di Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa malam, 16 Mei 2017.
Karya dan tema seni, menurut Yani, sudah tidak mengenal batas kewilayahan. Banyak produk film—film panjang maupun pendek—berkonten lokal yang tidak kalah digandrungi masyarakat daripada film-film nasional buatan insan film profesional.
Karena itu, LSF membutuhkan kepanjangan tangan di daerah-daerah guna memaksimalkan fungsi kontrolnya. Sementara ini, baru satu kantor perwakilan daerah dibentuk LSF, yakni LSF perwakilan Jawa Timur. "LSF Jawa Timur membantu tugas tenaga sensor di Pusat," kata Yani.
Selain soal sensor, LSF juga berperan penting mendorong peningkatan mutu dan kualitas karya seni dan budaya, khususnya film. "LSF sebagai alat menjaga masyarakat dan bangsa dari pengaruh negatif film serta mendorong masyarakat untuk jadi lebih baik," ujar Yani. (ase)