Dua Tuntutan Korban Tragedi 1965

Kuburan massal tragedi 1965 di hutan Plumbon Semarang, Jawa Tengah.
Sumber :
  • Dwi Royanto/ VIVA.co.id

VIVA.co.id – Para pegiat International People's Tribunal (IPT) 1965 berkumpul kembali untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus tragedi 1965 yang merenggut banyak jiwa. Langkah ini dilakukan untuk mempertegas bentuk penyelesaian terhadap ratusan ribu korban saat itu.

Ketua Bidang Manajemen dan Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rachma Mary Herwati, mengatakan pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk segera menyelesaikan kasus yang sudah berlangsung 52 silam itu.

Hal ini, kata dia, karena janji pemerintah tersebut telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 melalui pembentukan Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Reparasi Korban 1965.

"Tetapi, tidak ada niat dari negara, malah dibentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN), yang ada hanya mengabaikan korban dan tidak sama sekali menyelesaikan permasalahan. Makanya harus diberhentikan dan kembali ke awal sebagaimana dimandatkan dalam RPJM 2015-2019," katanya di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Minggu, 19 Maret 2017.

Rahma menilai, pembentukan DKN yang digagas dalam hasil simposium hanya manipulasi pemerintah untuk melepas tanggung jawab penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menjeratnya.

"Pembentukan DKN ini manipulatif dan jelas tak menunjukkan tanggung jawab pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM berat," kata perwakilan IPT 1965, Rahma Mari, saat ditemui di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Minggu, 19 Maret 2017.

Menurutnya, para korban tragedi 1965 tidak membutuhkan lembaga itu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Seharusnya, kata dia, pemerintah membentuk lembaga yang dapat mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk lembaga yang mengupayakan rekonsiliasi.

"Jalur rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga semestinya itu melalui proses pengusutan kasus terlebih dahulu, bukan langsung tertuju pada upaya kerukunan, sehingga langkah ini tidak serius," tuturnya.

Tuntutan korban

Pegiat HAM yang mewakili IPT 1965, Harry Wibowo, mengatakan pada dasarnya ada dua tuntutan yang sudah disampaikan kepada Komnas HAM. Dua tuntutan itu, kata dia, yaitu Komnas HAM direkomendasikan untuk melakukan penyelidikan lanjutan atas fakta yang diungkap dalam persidangan.

"Kedua, memproteksi 120 titik kuburan massal yang berhasil ditemukan. Logika hukumnya temuan baru harus ditindaklanjuti. Harus ada penyelidikan lanjutan oleh Komnas HAM," jelasnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menjelaskan dalam menangani kasus tragedi 1965, Komnas HAM seakan-akan dibuat deadlock dan akhirnya tidak terurus kasusnya.

"Selama ini Komnas HAM tidak ada masalah tersendat, kasus 65 saja, kasus Papua tidak. Tragedi 65 dibuat deadlock sehingga tidak bisa ngapa-ngapain, padahal bisa gerak tanpa ada political will. Sehingga, di kasus 1965 mereka sangat hati-hati, kemarin datang ke purnawirawan, itu tertutup," tegasnya. (ase)