Dukungan KPK atas Kasus Kartel Honda-Yamaha Dinilai Tepat

Ilustrasi Sidang KPPU.
Sumber :
  • www.telkomsel.com

VIVA.co.id – Ekonom INDEF, Nailul Huda, mengapresiasi dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pengusutan kasus kartel motor skuter matik. Ia menilai, dukungan KPK terhadap KPPU yang membongkar kartel motor skutik sudah tepat. [Baca: KPK Monitor Kasus Kartel Yamaha dan Honda]

Menurutnya, dukungan KPK atas vonis KPPU yang menjatuhkan sanksi terhadap PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor itu sangat penting. Pasalnya, persengkongkolan harga dua produsen besar motor jenis skuter matik itu telah merugikan masyarakat.

"Ada dua poin yang patut diperhatikan. Pertama, dukungan KPK untuk mengusut dugaan adanya korupsi di lingkungan swasta. Hal itu sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) terbaru yang menyangkut tindak pidana korporasi," kata Huda dalam keterangan persnya diterima VIVA.co.id, Jumat 3 Maret 2017.

Kedua, KPK harus melakukan kajian peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah baik Peraturan Pemerintah, serta Peraturan Menteri, maupun Peraturan Dirjen yang diduga merugikan masyarakat luas, di mana KPPU tidak dapat menyentuhnya.

Sebab, biasanya aturan turunan justru membuat aturan pokoknya, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, berpotensi dilanggar oleh pihak swasta.

Karena itu, Huda menilai dukungan KPK kepada KPPU ini menjadi momentum pemerintah membenahi lagi aturan-aturannya, sehingga iklim persaingan usaha kembali fair.

Manager Advokasi FITRA, Apung Widadi menambahkan APBN yang digunakan dalam membahas UU seharusnya bermanfaat dan bukan mengkebiri KPPU sebagai komisi pegawas sektor usaha di Tanah Air. Hal itu diungkapkan Apung, merujuk situasi di mana revisi kewenangan KPPU dalam perubahan UU persaingan usaha, justru semakin melemahkan.   

"Revisi di DPR itu sayangnya lebih terasa mengurangi kewenangan KPPU. Di tengah KPPU yang bernyali saat ini, harusnya justru diperkuat lagi kewenangan penuntutan, penindakan di pengadilan dan serta pencucian uang. Jika ini dilakukan, akan menambah kekuatan KPK dan KPPU untuk bisa fokus penindakan korupsi di sektor ekonomi atau swasta," kata Apung.

Sebelumnya, Majelis Komisi KPPU memutus kasus dugaan praktik kartel yang membelit dua pabrikan motor terbesar di Tanah Air, yakni Yamaha dan Honda. Putusan dibacakan setelah delapan bulan sidang digelar.

Secara bulat, Majelis Komisi KPPU memvonis Yamaha dan Honda Motor bersalah. Karena terbukti melakukan praktik culas, dan kongkalikong dalam menetapkan harga sepeda motor jenis skuter matik 110-125cc di Tanah Air.

Terbukti Bersekongkol

Majelis Komisi KPPU menyebut Yamaha-Honda sengaja membuat mahal harga skutik dari banderol sewajarnya, di mana praktik itu merugikan masyarakat selaku konsumen yang tak bisa mendapat harga kompetitif. Terlebih kedua merek itu saat ini memimpin pasar skutik di Indonesia dengan menguasai 97 persen pangsa pasar domestik.

Majelis Komisi KPPU membeberkan, Yamaha-Honda terindikasi saling rangkul, sekongkol mengatur harga demi mendapatkan keuntungan besar. Dalam istilah bisnis, perilaku ini disebut kartel. Di mana, hal ini dilakukan untuk mencegah kompetisi, monopoli, dan saling mendapatkan keuntungan.

Yamaha-Honda dianggap telah mengangkangi Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal itu menyebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar bersangkutan yang sama.

"Terlapor satu (Yamaha) dan dua (Honda) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1999," kata Ketua Majelis Komisi KPPU, Tresna Priyana Soemardi, saat membacakan putusan, di Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Senin 20 Februari 2017.

Keputusan tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta sidang yang menghadirkan sejumlah saksi ahli dan berbagai analisis. Sebagai hukuman, Yamaha-Honda kemudian diganjar hukuman membayar denda kepada negara dengan besaran berbeda. Yamaha didenda Rp25 miliar, sementara Honda Rp22,5 miliar.

"Denda-denda itu nantinya disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha satuan kerja KPPU, melalui bank pemerintah," kata Tresna.

Dasar yang dipakai oleh Majelis Komisi KPPU memutus bersalah Yamaha-Honda terkait dengan adanya bukti soal perjanjian kerjasama, pertemuan antar pejabat tinggi di lapangan golf dan adanya bukti surat elektronik pada 28 April 2015, dan 10 Januari 2015.

Kata Anggota Majelis Komisi KPPU, Munrokhim Misanam, pada 10 Januari 2015, ada surat elektronik yang dikirim Yutaka Terada yang saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing YIMM ke Dyonisius Beti selaku Vice President Direktur YIMM. Majelis menganggap surat elektronik itu merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antarpejabat tinggi YIMM.

"Mengingat pengirim dan penerima e-mail serta media yang digunakan yaitu e-mail resmi perusahaan, maka majelis komisi tidak serta-merta mengabaikan fakta itu sebagai alat bukti," ujarnya.

Atas putusan itu, baik pihak Honda maupun Yamaha akan mengajukan banding. Sesuai aturan berlaku, pihak yang keberatan atas putusan KPPU hanya ditangani Pengadilan Negeri. (ren)