KPK Monitor Kasus Kartel Yamaha dan Honda
- VIVA.co.id/Edwin Firdaus
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi ikut memantau kasus dugaan kartel yang dilakukan oleh Yamaha dan Honda dalam menentukan harga motor.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan, perkara itu bersentuhan langsung dengan masyarakat yang menjadi salah satu konsentrasi lembaganya. Karena itu, KPK perlu memonitor secara intens.
"Kami sudah melakukan komunikasi dengan KPPU," kata Febri Diansyah di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis 2 Maret 2017.
Febri mengingatkan, supaya persidangan berjalan sesuai aturan, KPK juga meminta Komisi Yudisial turut memantau dan hakim yang berintegritas tinggi yang ditunjuk sebagai ketua majelis di tingkat banding.
"Kami minta hakim yang profesional, benar-benar bekerja sesuai dengan SOP yang ada. Jangan main mata dengan pihak berperkara. Kami rasa KY harus terlibat (memonitor kasus ini) juga," kata Febri.
Sebelumnya Majelis Komisi KPPU memutus kasus dugaan praktik kartel yang membelit dua pabrikan motor terbesar di Tanah Air, yakni Yamaha dan Honda. Putusan dibacakan setelah delapan bulan sidang digelar.
Secara bulat, Majelis Komisi KPPU memvonis PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor bersalah. Karena terbukti melakukan praktik culas, dan kongkalikong dalam menetapkan harga sepeda motor jenis skuter matik 110-125cc di Tanah Air.
Majelis Komisi KPPU menyebutkan Yamaha-Honda sengaja membuat mahal harga skutik dari banderol sewajarnya. Praktik tersebut tentu merugikan masyarakat selaku konsumen yang tak bisa mendapat harga kompetitif. Terlebih kedua merek tersebut saat ini memimpin pasar skutik di Indonesia dengan menguasai 97 persen pangsa pasar domestik.
Majelis Komisi KPPU membeberkan, Yamaha-Honda terindikasi saling rangkul, sekongkol mengatur harga demi mendapatkan keuntungan besar. Dalam istilah bisnis, perilaku ini disebut kartel. Di mana, hal ini dilakukan untuk mencegah kompetisi, monopoli, dan saling mendapatkan keuntungan.
Yamaha-Honda dianggap telah mengangkangi Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal itu menyebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar bersangkutan yang sama.
"Terlapor satu (Yamaha) dan dua (Honda) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1999," kata Ketua Majelis Komisi KPPU, Tresna Priyana Soemardi, saat membacakan putusan, di Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Senin 20 Februari 2017.
Keputusan tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta sidang yang menghadirkan sejumlah saksi ahli dan berbagai analisis. Sebagai hukuman, Yamaha-Honda kemudian diganjar hukuman membayar denda kepada negara dengan besaran berbeda. Yamaha didenda Rp25 miliar, sementara Honda Rp22,5 miliar.
"Denda-denda itu nantinya disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha satuan kerja KPPU, melalui bank pemerintah," kata Tresna.
Dasar yang dipakai oleh Majelis Komisi KPPU memutus bersalah Yamaha-Honda terkait dengan adanya bukti soal perjanjian kerja sama, pertemuan antarpejabat tinggi di lapangan golf dan adanya bukti surat elektronik pada 28 April 2015, dan 10 Januari 2015.
Kata Anggota Majelis Komisi KPPU, Munrokhim Misanam, pada 10 Januari 2015, ada surat elektronik yang dikirim Yutaka Terada yang saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing YIMM ke Vice President Direktur YIMM, Dyonisius Beti. Majelis menganggap surat elektronik itu merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antarpejabat tinggi YIMM.
"Mengingat pengirim dan penerima e-mail serta media yang digunakan yaitu e-mail resmi perusahaan, maka majelis komisi tidak serta-merta mengabaikan fakta itu sebagai alat bukti," ujarnya. (one)