Polisi: Bentrok di Papua Dipicu Bupati Bawa Senjata Api
- VIVA.co.id/Banjir Ambarita
VIVA.co.id - Kepolisian Daerah Papua mengaku menerima informasi bahwa bentrokan dua kelompok massa di Kabupaten Intan Jaya dipicu, di antaranya, aksi Bupati Natalius Tabuni membawa senjata api untuk mengancam warga. Namun, polisi belum memastikan kabar itu, karena harus lebih dulu dibuktikan.
"Sudah ada laporan, siapa saja warga sipil yang pegang senjata, termasuk Bupati petahana, jika memang memiliki senjata akan diperiksa," kata Kepala Polda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw, di Jayapura, Minggu 26 Februari 2017.
Kepala Polda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw, meninjau rumah-rumah yang dibakar dalam bentrokan dua kelompok massa pendukung calon bupati Intan Jaya pada Sabtu 25 Februari 2017. (VIVA.co.id/Banjir Ambarita)
Pernyataan Kapolda merespons informasi yang disampaikan Julius Miagoni, seorang tokoh masyarakat Kabupaten Intan Jaya, sekaligus mantan anggota DPRD Papua.
Julius, saat dihubungi melalui telepon selulernya dari Jayapura, menjelaskan kronologi bentrokan dua kelompok massa pendukung calon bupati dan wakil bupati Intan Jaya pada Kamis lalu, 23 Februari 2017.
Pada pokoknya, bentrokan gara-gara masing-masing massa pendukung menganggap Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, sengaja menunda-nunda penghitungan suara, sekaligus penetapan hasil Pilkada yang digelar pada 15 Februari itu.
Masyarakat, kata Julius, mencurigai KPU tidak independen dan memihak salah satu pasangan calon. Sebenarnya, masyarakat sudah mengetahui hasil pilkada itu, yakni pasangan calon nomor dua, Yulius Yapugau-Yunus Kalabetme unggul dengan perolehan 2.945 suara.
"Tetapi, KPU (Kabupaten Intan Jaya) selalu menunda-nunda pleno rekapitulasi suara, sehingga masyarakat menilai KPU sudah tidak independen dan curiga hendak bermain (merekayasa) dengan paslon (pasangan calon) nomor tiga (Natalis Tabuni-Yann Robert Kobogoyauw), yang merupakan petahana," katanya.
Pada Kamis pagi itu, massa pendukung Yulius Yapugau-Yunus Kalabetme mendatangi kantor KPU untuk menyaksikan rapat pleno rekapitulasi. Namun KPU menunda lagi rapat pleno. Puncaknya pada Kamis sore, saat massa simpatisan pendukung Natalis Tabuni-Yann Robert Kobogoyauw menerobos kantor KPU dan merampas semua dokumen di dalamnya.
Menurut Julius, saat itulah Bupati Natalis Tabuni dan beberapa koleganya mendatangi kantor KPU dengan membawa senjata api, lalu menodongkannya ke arah massa. "Bupati datang diperlengkapi senjata api, begitu juga dengan adiknya, serta Ketua KPUD." Sikap arogan Bupati itulah yang dianggap memicu kemarahan massa, sehingga mereka melawan, lalu pecah bentrokan dua kubu.
Bentrokan itu, menurut keterangan Julius, menewaskan lima orang: dua orang pendukung Yulius Yapugau-Yunus Kalabetme dan tiga orang pendukung Natalis Tabuni-Yann Robert Kobogoyauw. Mereka tewas, setelah tertusuk anak panah. (Baca: Polisi: Korban Tewas akibat Bentrok di Papua Tiga Orang)
***
Isu SARA
Kapolda Paulus Waterpauw menyesalkan sikap ara elite kedua pasangan calon, karena tidak berusaha meredam, atau menenangkan massa. Mereka juga tidak memberikan penjelasan yang memadai kepada massa tentang tahapan-tahapan pilkada hingga pengumuman pemenang.
Kerusuhan itu, kata Paulus, belakangan malah melebar dari semula masalah politik menjadi isu konflik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). "... yakni pemisahan suku Moni dan Dani. Padahal, kedua suku sudah kawan campur dan bersatu berpuluh-puluh tahun," katanya.
Polisi sekarang lebih mengutamakan upaya meredam konflik dan mencegah bentrokan susulan, sehingga tak merembet ke hal lain. Dia memahami, memang ada tradisi perang terbuka antarsuku di Papua, namun hal yang terjadi di Intan Jaya bukan perang, melainkan saling membunuh dengan sembunyi-sembunyi.
"Ini membunuh secara sembunyi-sembunyi, untuk kepentingan dua orang yang bertarung dalam Pilkada. Jadi, harus dicegah dan dihentikan; menghindari jatuhnya korban lagi," katanya. (asp)