Mengapa Mereka yang Pulang dari Suriah Harus Diwaspadai
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id – Kementerian Luar Negeri telah memulangkan setidaknya 12 ribu warga negara Indonesia yang pernah tinggal di Suriah. Pemulangan itu tercatat bertahap sejak tahun 2011.
Meski begitu, dari perkiraan masih ada 2.000 WNI lagi yang masih bertahan di Suriah. Tentunya jumlah itu masih estimasi karena diduga ada banyak lagi yang tidak pernah tercatat.
"Banyak dari mereka masuk dengan ilegal ke Suriah," kata juru bicara Kemenlu RI Arrmanatha Nasir pada akhir Desember 2016.
Secara prinsip, sebenarnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan pulangnya WNI yang ada di luar ke negeri ke tanah air. Namun belakangan, sejumlah hal menunjukkan beberapa yang pulang atau yang dipulangkan paksa, ternyata menimbulkan masalah baru.
Masalah itu berupa meluasnya praktik terorisme atau penyebaran paham radikal yang didapatinya dari negara konflik seperti Suriah.
"Mereka memiliki potensi bahaya luar biasa. mereka tidak lagi sama seperti sebelumnya. Bahkan anak-anak mereka sudah tidak lagi main layang-layang, melainkan main senjata," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius dikutip dalam laman resmi BNPT, Rabu, 1 Februari 2017.
Menurut Alius, di beberapa negara. Mereka yang berangkat ke negara lain dan kemudian melakukan tindak terorisme di negara itu, dikenal dengan sebutan Foreign Terrorist Fighter (FTF).
Saat ini, FTF memang tengah merebak dan menjadi salah satu ancaman serius yang ditimbulkan dari paham terorisme. Atas itu, sejumlah negara yang kerap dijadikan persinggahan FTF seperti Turki dan Singapura memberlakukan sistem screening ketat kepada siapa pun yang masuk ke negaranya.
"Mereka akan langsung ditendang balik ke negara mereka masing-masing. Tidak terkecuali, dan ini yang sangat mengerikan," kata Alius.
Sejauh ini, teruntuk Indonesia. Catatan BNPT, untuk WNI yang diduga sebagai FTF dan telah dikembalikan ke Indonesia tercatat mencapai 49 orang. Menurut Alius, jumlah ini sudah cukup mengkhawatirkan.
"Itu hanyalah puncak gunung es. Artinya di bawah mereka masih ada banyak lagi," kata Alius.
Modus Baru
Dan kini, berdasarkan kejadian pemulangan lima orang WNI yang terdiri dari satu keluarga pada Rabu malam, 27 Januari 2017. Kuat dugaan adanya modus baru dalam pemulangan FTF ke Indonesia.
Sebabnya, kelima WNI itu justru mendarat di Indonesia tidak melalui Bandara Soekarno Hatta, namun memilih Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali.
"Mereka berpindah dari kawasan 'pasti tangkap' di bandara Soekarno Hatta menuju kawasan 'bisa lari' di bandara Bali. Pola baru ini perlu segera diwaspadai," kata Alius.
Menurut Alius, modus itu dinilai mengetahui celah dalam RUU Terorisme yang ada di Indonesia. Sebabnya FTF secara khusus tidak pernah termaktub dalam payung hukum yang kuat. Karena itu jika pun ada penangkapan, itu hanya didasarkan pada kebijakan pimpinan.
"Aparat tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk melakukan (Penangkapan), needed actions terkait penanganan FTF," katanya.