Riuh Pekerja 'Tirai Bambu'
- VIVAnews/ Aceng Mukaram
VIVA.co.id – Sejumlah alat berat, mesin tambang, truk, dan kendaraan operasional tak lagi menderu. Tak tampak aktivitas para pekerja tambang yang biasanya gaduh dan riuh. Suasana menjadi sepi.
Pada areal tambang seluas 1.300 hektare itu, hanya terlihat tiga pekerja sedang duduk bersantai. Mereka menikmati hari di depan mes yang terletak dekat pintu masuk kawasan tambang PT MMP.
Aktivitas tambang yang dikelola sebuah perusahaan asal China di Pulau Bangka, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara itu, seolah mati. Tak ada kegiatan berarti pada Selasa siang, 4 Januari 2017.
Satu di antara tiga pekerja yang terlihat hari itu, akrab disapa Tuan Yang, warga China. Ia menjadi pimpinan pekerja asal negeri “Tirai Bambu” itu. Bertiga mereka terlihat bersenda gurau menggunakan bahasa tanah kelahirannya. Tak satu pun di antara mereka yang fasih berbahasa Indonesia.
PT MMP sudah ada di Pulau Bangka sejak 2008, setelah perusahaan mendapat izin dari Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, untuk menambang bijih besi pada areal seluas hampir setengah pulau berukuran 4.778 hektare. Namun, warga sekitar lokasi tambang menolak.
Tambang bijih besi di Pulau Bangka yang mempekerjakan pekerja China.
Ketiga pekerja itu kini tak bisa bekerja. Mereka menanti kedatangan sekitar 30 rekannya dari China untuk melanjutkan penambangan.
“Hanya ada dua atau tiga pekerja China yang ada di sini (Pulau Bangka). Yang lain mungkin pulang ke China. Kabarnya, pertengahan Januari ini mereka akan beraktivitas lagi,” kata Diana Takumansang, warga Desa Kahuku, Pulau Bangka, Selasa, 4 Januari 2017.
Selama bekerja, para pekerja akan tinggal di mes semi permanen yang terbuat dari triplek, rangka kayu, dan atap genting asbes. Dengan panjang sekira setengah lapangan sepakbola, mes ini terbagi menjadi 20 kamar seluas 9 meter persegi, yang berjejer menyamping seperti indekos.
Nantinya, 30 pekerja ini akan menjadi bagian dari 21.271 tenaga kerja legal dari China. Mereka tersebar di berbagai wilayah, untuk mengerjakan beragam sektor usaha seperti konstruksi, manufaktur, perdagangan, dan pertanian.
Pekerja asal China ini tersebar di berbagai wilayah. Di Sulawesi Selatan misalnya, mereka bekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jeneponto, pabrik semen di Kabupaten Barru, serta beberapa perusahaan di Bulukumba dan Pangkep, juga menggunakan jasa mereka. Umumnya mereka bekerja sebagai teknisi.
“Pada prinsipnya tenaga kerja asal Tiongkok (China) ini bekerja di sektor konstruksi,” kata Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulsel, Ramli HS, saat ditemui di ruangan kerjanya, Kamis, 5 Januari 2017.
Kondisi serupa juga terjadi di Jawa Barat. Kantor Imigrasi Bandung mencatat ada 178 warga China. Mereka juga bekerja di sektor konstruksi seperti pembangunan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan.
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Bandung, Maulia Purnamawati, semua pekerja memiliki dokumen resmi untuk bekerja di Indonesia.
Namun, tak semua warga negara asing patuh kepada peraturan imigrasi. Dari data yang mereka miliki, Imigrasi Bandung kerap mendeportasi warga asing yang bermasalah.
Mereka umumnya dideportasi karena melakukan pelanggaran imigrasi, seperti berdagang. Padahal, mereka menggunakan visa kunjungan, atau melakukan tindak pidana ringan.
Kondisi berbeda ditemukan di Jawa Timur. Ketika Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan setempat, akhir Desember 2016 menemukan sedikitnya 26 pekerja China yang bekerja secara ilegal.
Mereka bernaung di bawah PT JMI, di Desa Tumapel, Kecamatan Dlanggu, Mojokerto.
Kasus ini merembet pada temuan lainnya. Para pekerja China itu bekerja di beragam sektor, dari perusahaan swasta hingga badan usaha milik negara (BUMN). Di antara mereka bahkan ditemukan melakukan pekerjaan kasar seperti sopir atau memanasi besi.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Jawa Timur, Sukardo, mengatakan, para pekerja asal China itu juga diketahui mendapatkan upah lebih tinggi dari pekerja lokal dengan strata jabatan setara.
Dia menyebutkan, pekerja itu mengerjakan proyek milik sebuah BUMN. Mereka bisa mendapatkan upah Rp6 juta setiap bulan untuk pekerjaan kasar.
Upah itu sebagian besar mereka kirimkan ke keluarga di China. “Jadi, orang akan mengira kalau mereka hanya menerima gaji Rp2 juta. Karena, itu yang memang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Sukardo di Surabaya, Kamis, 5 Januari 2017.
Sukardo melanjutkan, di Jawa Timur pada 2016 tercatat ada 3.460 tenaga kerja asing ilegal. Dari jumlah itu, sebesar 40 persen di antaranya berasal dari China.
Jumlah ini meningkat dibandingkan 2015. Kala itu di Jawa Timur hanya ada 1.400 tenaga kerja dari luar negeri yang bekerja tak memenuhi syarat negara.
Peningkatan terjadi karena provinsi ini memiliki 37 ribu perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 3.200 perusahaan mempunyai status penanaman modal asing.
Sukardo menjelaskan, keberadaan pekerja asing ilegal itu merugikan masyarakat setempat. Sebab, mereka mengambil kesempatan kerja yang mestinya bisa menjadi hak warga Surabaya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat, memiliki kekhawatiran serupa. Dia menilai, semakin banyak pekerja asing, berarti berkurang kesempatan warga Indonesia mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan laporan dari anggota serikatnya, dia pun menemukan beberapa pekerja asal China yang mengerjakan pekerjaan kasar. Pekerjaan yang dia nilai tak membutuhkan keahlian khusus.
“Mereka (pekerja China) menjadi kuli-kuli kasar, sopir, hingga mandor. Kalau saya dianggap bohong, coba jangan jauh-jauh, pergi di Pulogadung. Di sana ada pabrik baja. Gajinya (ada) Rp10 juta. Dia sopir forklift,” ujar Mirah.
Pekerja di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur
Persoalan lain yang menjadi perhatiannya adalah warga China yang bekerja secara ilegal. Mereka tak terdata, sehingga pemerintah pun tak bisa mengetahui secara pasti jumlahnya. Di samping itu, sebagai pekerja tanpa dokumen, mereka tentu bersedia kerja dengan upah lebih murah.
Jika demikian, mereka berpotensi menyerobot kesempatan kerja, juga menciptakan upah murah di Indonesia. “Pemerintah melalui Kemenaker hanya bersifat pasif, ambil data dari daerah, provinsi, dan kabupaten. Tapi kenyataannya, Imigrasi sudah mendeportasi tenaga kerja ilegal China sebanyak tujuh ribuan orang,” kata Mirah.
Mirah pun menuding kebijakan bebas visa untuk China, mempermudah kesempatan mereka menjadi pekerja ilegal. Sebab, pascakebijakan itu diterapkan untuk 169 negara, pendatang China menjadi salah satu yang terbesar.
Pekerja China Marak di Indonesia
Terkait hal ini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Hanif Dhakiri, memberikan klarifikasi. Menurut Hanif, jumlah tenaga kerja asal China memang meningkat setiap tahun mengikuti pertumbuhan investasi dari negeri tersebut.
Namun, jumlah itu tak sebanding dengan banyaknya lapangan kerja yang bisa mereka ciptakan untuk Indonesia. “Nilai investasinya juga naik. Investasi mereka itu pada semester I tahun 2016 sudah mencapai US$1,01 miliar," tutur Hanif saat ditemui VIVA.co.id di ruang kerjanya, Selasa, 3 Januari 2016.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri (kanan)
Menurut Hanif, investasi itu terdiri atas 519 proyek. Pada 2015, investasi mereka hanya senilai US$628,3 juta. Kalau disetarakan dengan lapangan pekerjaan, investasi yang dibuka China itu setara dengan 1 juta lapangan kerja.
Dalam kerja sama niaga antarsektor swasta, kerapkali juga perusahaan akan membawa serta tenaga kerja yang mereka miliki untuk mengerjakan proyek yang disepakati. Untuk itu, Hanif menegaskan, selama ini semua pendatang yang masuk ke Indonesia masih terdata secara resmi, karena wajib mengurus administrasi pada kementeriannya.
Pada data 2016, jumlah keseluruhan pekerja asing di Indonesia mencapai 74.183 orang. Artinya, pekerja asal China sekitar sepertiga jumlah itu.
Hanif menilai, jumlahnya masih belum seberapa jika dibandingkan keseluruhan pekerja Indonesia di luar negeri yang mencapai 6,5 juta orang. Apalagi, yang ada di China.
“Di Hong Kong saja ada 153 ribuan, di Macau ada 16 ribuan, jadi sebenarnya orang kita lebih banyak di China dibandingkan TKA China yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Terkait asumsi sejumlah pihak yang menuding kebijakan bebas visa sebagai pintu masuk pekerja ilegal, kembali Hanif membantah. Menurut dia, pekerja ilegal datang bukan karena ada kebijakan bebas visa, tak ada data empirik yang menunjukkan demikian.
Hanif melanjutkan, kebijakan bebas visa diterapkan banyak negara yang ingin menggenjot devisa dari sektor pariwisata. Dari data Kementerian Pariwisata, kebijakan ini lebih banyak dinikmati warga negara-negara Timur Tengah.
Dari sekitar satu juta wisatawan pada 2016, setengahnya berasal dari Timur Tengah. “Penikmat bebas visa itu sekarang negara Timur Tengah, bukan China,” tuturnya.
Namun, dia mengakui, kebijakan itu memang bisa dimanfaatkan orang asing untuk bekerja di Indonesia secara ilegal. “Itu pasti ada saja yang seperti itu. Di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, di negara lain pasti ada yang seperti itu," kata dia.
Tetapi, yang perlu dipahami, Hanif menambahkan, sistem kendali di dalam negeri masih sangat baik. Kantor Imigrasi, hampir tiap hari mendeportasi orang.
Sementara itu, untuk pekerja China yang ilegal, Hanif memastikan pemerintah akan terus menggelar operasi untuk menindak mereka. Upaya ini berlaku bagi semua warga negara asing yang menyalahgunakan dokumen imigrasi mereka.
“Bahwa (pengawasan) masih ada bolong-bolongnya, iya. Tapi, percayalah bahwa pemerintah masih sangat bisa mengendalikan arus dari mereka-mereka yang ingin bekerja secara ilegal,” katanya.
Hanif pun menilai, kegusaran masyarakat ini dipicu pihak tertentu yang memanfaatkan isu kerja sama Indonesia dengan asing, terutama China. Setidaknya sudah tiga kali sejak Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin negeri, sentimen terhadap pekerja asing ini mencuat dan yang dimunculkan selalu pekerja China.
Isu itu semakin gencar ketika aparat pemerintah menangkap pekerja ilegal. Seperti ketika penangkapan terhadap warga China saat mengerjakan proyek di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada April 2016.
“Muncul tiga kali dari Februari 2015, April 2016, kemudian Desember 2016,” tutur Hanif.
Imbas Investasi
Polemik tenaga kerja asing juga mendapat tanggapan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Trikasih Lembong. Dia mengungkapkan, Indonesia membutuhkan investasi asing untuk membangun negeri. Meningkatnya investasi pasti selaras dengan datangnya pekerja asing.
Kondisi itu menjadi keniscayaan sebagai konsekuensi, karena tenaga kerja asing merupakan komponen kritis dari investasi, sehingga wajar jika negara investor mengirim orang mereka untuk menjamin keberhasilan investasi tersebut.
Kepala BKPM, Thomas Lembong
Data BKPM menunjukkan, investasi China saat ini berada di urutan ketiga, dari sebelumnya urutan kedelapan di Indonesia.
“Kami meminta investor mempertaruhkan triliunan rupiah modal mereka di negara kita,” ujar Lembong saat ditemui di Pacific Place, Jakarta, Kamis, 5 Januari 2017.
Mantan menteri Perdagangan ini menjelaskan, “Masing-masing tenaga kerja asing itu menghasilkan 4-9 tenaga kerja lokal. Jadi satu tenaga kerja asing yang masuk menciptakan 4-9 lapangan kerja baru untuk tenaga kerja Indonesia," tuturnya.
Data BKPM menunjukkan lapangan kerja yang diciptakan dari investasi jauh lebih banyak untuk tenaga kerja lokal dibandingkan asing.
Tenaga kerja yang dihadirkan dari luar negeri pun hanya akan bekerja pada fase awal sebuah proyek. Mereka datang sebagai tenaga ahli untuk memperkenalkan teknologi atau alat produksi yang dibawa dari China, agar bisa diajarkan pada pekerja lokal.
Semakin cepat mereka mentransfer pengetahuan itu, maka investor akan memperoleh keuntungan lebih besar.
“Mahal pakai ekspatriat. Pelan-pelan mereka akan melatih orang kita. Upah minimum di Tiongkok tiga kali lipat dari upah minimum kita,” ucap Lembong.
Keberadaan investasi asing ini, menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, merupakan bagian dari perjanjian perdagangan bebas yang dibuat pemerintahan sebelumnya. Ada beragam perjanjian yang mesti dipegang komitmennya oleh Indonesia baik dalam kerangka bilateral maupun regional, yaitu Indonesia-Jepang, ASEAN-China, ASEAN-FTA, ASEAN-Korea, ASEAN-India atau ASEAN-Australia-New Zealand.
Saleh pun berpendapat bahwa datangnya pekerja asing tak bisa dibendung, tapi perhatian pemerintah adalah menguatkan pengawasan, dan memastikan tak ada pekerja asing ilegal. Untuk itu, Saleh mendesak Kemenakertrans menambah penyidik PNS.
“Penyidik yang dimiliki Kemenaker, dengan jumlah tidak lebih dari 1.800 orang, dinilai tidak mampu mengawasi seluruh perusahaan yang ada. Apalagi, belakangan ini banyak perusahaan baru yang mempekerjakan tenaga kerja asing,” tuturnya.
Komisi IX DPR pun mendesak pemerintah membentuk satuan tugas khusus untuk menangani pekerja asing ilegal, dengan melibatkan instansi seperti Kemenakertrans, Imigrasi, Polri, Badan Intelijen Nasional, Badan Intelijen Strategis, Kementerian Luar Negeri, serta BKPM.
Untuk menimbulkan efek jera, penting juga menjatuhkan sanksi tegas. Tak hanya pada pekerja, perusahaan yang mempekerjakan pun harus mendapatkan sanksi.
”Sejauh ini, Komisi IX melihat bahwa tindakan yang dijatuhkan (ke perusahaan) masih lebih banyak yang bersifat administratif, belum banyak yang ditangani secara pro justisia,” katanya.
Dari sisi hukum, Komisi IX DPR mendesak Kemenakertrans untuk merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 35 Tahun 2015 Tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Industri Pengolahan, Subgolongan Industri Alas Kaki.
Pada revisi, Kemenaker diharapkan kembali mempersyaratkan kemampuan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing, dan memastikan adanya kemampuan khusus serta transfer pengetahuan.
Terakhir, “Komisi IX mendesak pemerintah agar memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk mengerjakan proyek infrastruktur dan juga proyek yang didanai oleh pihak asing. Dengan demikian, lapangan pekerjaan semakin terbuka untuk rakyat Indonesia.”
Terlepas dari isu masuknya pekerja China, di mata Menakertrans Hanif, sesungguhnya masyarakat juga bisa membendung datangnya pekerja asing dengan cara meningkatkan kualitas diri. Jika sudah demikian, lapangan pekerjaan akan terbuka dengan sendirinya, karena ke depan persaingan memang terletak pada kualitas.
Pesan Hanif ini tak berlebihan jika melihat perkembangan globalisasi dan perjanjian perdagangan bebas yang sudah dibuat. Setelah pada 2015 berlaku perdagangan bebas untuk kawasan ASEAN, 2025 akan berlaku untuk kawasan Asia Pasifik.
“Saya percaya sekali bahwa orang kita ini memiliki potensi yang lebih dan kemampuan yang luar biasa daripada tenaga kerja asing lainnya," ujar Hanif.
Kalau ini bisa didorong dengan semangat positif dan optimistis, negara ini bisa menjadi bangsa pemenang. Tapi, menurut Hanif, kalau seseorang pekerjaannya tiap hari hanya menakut-nakuti orang dengan menyebarkan informasi bohong, bangsa Indonesia tidak lebih akan menjadi bangsa yang hidup seperti katak dalam tempurung.