Kasus Eks Bos PT Geo Dipa Diklaim Hambat Proyek Pemerintah

Lia Alizia, kuasa hukum mantan Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara Persero PT Geo Dipa Energy (Geo Dipa), Samsudin Warsa.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Edwin Firdaus.

VIVA.co.id – Kuasa Hukum mantan Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara Persero PT Geo Dipa Energy (Geo Dipa) Samsudin Warsa, Lia Alizia, menilai kasus kliennya menghambat program listrik 35 ribu mega watt yang diprioritaskan Presiden Jokowi. Salah satu dampaknya, lanjut Lia, adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng terancam dikuasai swasta, yaitu PT Bumigas Energi.

"Sangat ironis saya pikir. Padahal PLTPB ini merupakan aset negara," kata Lia di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 22 Desember 2016.

Karena itu, kata Lia, pihaknya sengaja datang membawa bukti-bukti masalah tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Diharapkan lembaga tersebut dapat mencegah terjadinya kerugian negara yang sangat besar akibat masalah terkait PLTBP tersebut.

"Kami bawa bukti-buktinya. Semoga ini semua terbongkar dengan terang dan para oknum yang diduga telah sengaja ingin merugikan uang negara bisa diberantas," ujarnya.

Sementara itu, kuasa hukum Samsudin Warsa lainnya, Heru Mardijarto, menuturkan bahwa kasus tersebut bermula pada tahun 2005 saat Geo Dipa dan Bumigas kerjasama dengan kewajiban Bumigas membuat lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3.

Tanggung Pembiayaan

Dalam kontraknya disebutkan juga Bumigas yang menanggung seluruh pembiayaannya, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa, dan mengoperasikan bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M) patungan Bumigas dan Geo Dipa.

Namun, pada pelaksanaannya yang berlaku efektif pada 1 Februari 2005 sampai dengan Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Geo Dipa lantas memberi surat peringatan kepada Bumigas, namun tak dihiraukan, bahkan sampai surat peringatan ke-5 di bulan Juni 2006.

"Geo Dipa masih sabar, diberi kesempatan lagi selama 6 bulan sampai Desember 2005, Bumigas tetap tidak mau melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak," kata Heru.

Akhirnya, kata Heru, pada 7 Mei 2007, Geo Dipa mengirim notice of default kepada Bumigas. Isinya antara lain, bila Bumigas tidak memenuhi kewajibannya dalam 30 hari, maka Geo Dipa mengajukan penyelesaian kontrak melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Tanggal 26 November 2007 Geo Dipa resmi mengajukan permohonan terminasi kontrak melalui Arbitrase BANI, karena Bumigas cederai janji," kata Heru.

Kemudian pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan cedera janji dan menyatakan kontrak diterminasi di hari itu juga.

"Atas putusan BANI itu, Bumigas kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 19 Desember 2008. Padahal sudah melewati tenggat waktu mengajukan permohonan itu, tetapi tetap diperiksa," kata Heru.

Kemudian, PN Jaksel melalui putusannya 15 Januari 2009 menyatakan permohonan Bumigas tidak dapat diterima dengan alasan kurang pihak, karena tak melibatkan Geo Dipa. Begitu juga pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga menolak dan menguatkan putusan PN Jaksel.

Tak puas dengan putusan tersebut, Bumigas masih ajukan upaya Peninjauan Kembali ke MA. Tapi, lagi-lagi Bumigas kalah, karena MA melalui putusannya tanggal 25 Mei 2010 menyatakan bahwa permohonan PK Bumigas ditolak.

Heru menambahkan, setelah putusan PK No.16PK/Pdt.Sus/2010 tersebut, sesuai arahan Wapres pada rapat kerja di lokasi Patuha beserta menteri dan Direksi Pertamina, PLN, BNI, BRI, Mandiri dan Muspida Jabar, PLTPB Dieng 2, 3 dan PLTPB Patuha 1, 2, dan 3, masuk program pemerintah untuk percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 tahap 2. Geo Dipa dengan pendanaan dari BNI akhirnya menunjuk Kontraktor EPC Konsorsium Marubeni-Maklamat Cakera Canggi melalui tender untuk pembangunan PLTP Patuha 1.

"Nah, proyek PLTP Patuha 1 dapat diselesaikan dan mulai beroperasi komersial pada tanggal 22 September 2014. Berdasarkan hal itu, Geo Dipa adalah pemilik sah PLTPB Patuha 1 dan merupakan aset negara. Lalu dikuatkan lagi pendapat hukum dari Jamdatun Kejaksaan Agung RI bulan Agustus 2014. Terlebih melalui Keputusan Menteri ESDM No. 7100K/93/MEM/2016 tanggal 20 September 2016 menegaskan PLTPB Patuha 1 menjadi objek vital dan aset negara," kata Heru.

Melihat kemajuan itu, Bumigas justru pada 2012 kembali mengajukan upaya hukum pembatalan putusan BANI. Heru mengatakan, seharusnya upaya hukum ini tidak terjadi jika pada permohonan Bumigas pertama yakni 19 September 2008, Majelis Hakim PN Jaksel menolak memeriksa, karena permohonan sudah lewat tenggat waktu pengajuannya.

Meski demikian, putusan PN Jaksel lagi-lagi menyatakan permohonan Bumigas tidak dapat diterima. Namun, ketika perkara itu dibawa ke tingkat kasasi pada 24 Oktober 2014, MA menyatakan permohonan Bumigas untuk membatalkan putusan BANI dikabulkan.

Merespon itu, Heru menuturkan, Geo Dipa mengajukan PK dua kali, tetapi tetap ditolak Majelis Hakim. Padahal, Geo Dipa sudah membawa bukti Bumigas telah terlambat pada saat pengajuan permohonan pembatalan putusan BANI ketika itu di PN Jaksel. Tapi sayangnya, hal tersebut tidak dipertimbangkan Hakim.

"Di sanalah kami curiga, ada dugaan permainan di tingkat penegak hukum. Karena itu selain ke KPK, kami juga akan melaporkan ke Komisi Yudisial," kata Heru.

Samsudin Warsa sendiri menjadi tersangka dalam kasus dugaan penipuan proses tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng senilai Rp4,5 triliun. Ia dilaporkan oleh PT Bumigas Energy ke Bareskrim Polri.

Berkas perkara kemudian bergulir ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Dan pekan depan, Rabu, 28 Desember 2016, kasus tersebut akan mulai disidangkan.

 

(ren)