Menteri Agama Tanggapi Fatwa MUI Soal Atribut Natal

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Penggunaan Atribut Keagamaan non-Muslim. Fatwa ini dijadikan alasan bagi ormas Islam untuk melakukan sweeping atribut natal di Surabaya.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menanggapi keluarnya fatwa itu. Menurutnya, fatwa MUI ini tidak mengikat untuk semua masyarakat. Sehingga dijalankan boleh, dan apabila tidak dilakukan juga tidak apa-apa. Fatwa itu hanya mengikat bagi masyarakat yang memintanya, sedangkan yang tidak meminta tentu tidak menjadi keharusan.
 
"Fatwa itu kan mengikat bagi yang memintanya. Jadi oleh karenanya bagi yang tidak meminta, maka tentu tidak terikat dengan isi fatwa itu. Itu yang saya ketahui dari fatwa itu," kata Lukman di kantor Menko Polhukam, Jakarta, Selasa, 20 Desember 2016.
 
Fatwa MUI melarang umat Islam menggunakan atribut yang ada kaitannya dengan ritual ibadah ataupun tradisi agama lain.

Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. Karena itu, Fatwa MUI mengharamkan umat Islam menggunakan atribut keagamaan lain. 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara khusus memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait surat imbauan Polres Bekasi Kota dan Kulonprogo, yang menyikapi fatwa tersebut. Tapi sikap kedua Polres itu dinilai berlebihan.
 
Pramono meminta diterapkan hukum yang berlaku sebagai landasan Polri untuk bertindak. Hukum itu yang disebut hukum positif, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri, atau keputusan kapolri.
 
"Maka dengan demikian apa yang dilakukan oleh Kapolres di Bekasi maupun di Kulonprogo, yang kemudian menyikapi secara berlebihan, karena memang fatwa MUI itu bukan hukum positif," kata Pramono.
 
Seharusnya hukum positif yang menjadi acuan dari Polri untuk mengambil tindakan. Bukan menggunakan fatwa MUI untuk mengeluarkan kebijakan seperti yang dilakukan Kapolres Bekasi Kota dan Kapolres Kulonprogo. (ase)