Perlindungan Pemerintah untuk Pahlawan Devisa Lemah

Sejumlah tenaga kerja wanita asal Indonesia yang terlantar di Arab Saudi beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA/SAPTONO

VIVA.co.id – Sekretaris Jenderal Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnu menilai peran pemerintah dalam melindungi buruh migran indonesia masih lemah.

Indikatornya adalah, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat terdapat sekitar 207 kasus pembebanan biaya di atas ketentuan yang berlaku (Overcharging) yang dialami buruh migran yang berangkat ke Hongkong, Singapura, dan Taiwan.

"Buruh Migran kita harus membayar biaya penempatan berlebihan dikarenakan di Pasal 76 UU 39/2004 pemerintah tidak tegas dalam menetapkan biaya yang dibebankan buruh migran indonesia," kata Savitri di Jakarta, Senin, 19 Desember 2016.

Ia menambahkan, masih tingginya jumlah kasus yang dialami oleh buruh migran di Indonesia tidak berbanding lurus dengan jumlah devisa yang diperoleh negara dari buruh migran tiap tahunnya.

Menurutnya, kontribusi buruh migran melalui remitansi terhitung hingga Agustus 2016 saja, tercatat sebanyak Rp62 triliun. Sementara, tahun 2015, jumlah remitansi sebanyak USD8,6 juta, atau naik USD3 juta dibandingkan pendapatan tahun 2014 yaitu, USD8,3 juta.

Sementara itu, Kepala Divisi Perlindungan Perempuan dan Buruh Migran Solidaritas Perempuan (SP), Risca Dwi menyatakan, sepanjang tahun 2012-2015, pihaknya telah menangani 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran.

Menurutnya, kasus yang dialami oleh buruh migran indonesia sangat bervariasi, mulai mengalami eksploitasi jam kerja, pemotongan gaji atau gaji tidak dibayar sepihak, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, kriminalisasi, hingga penghilangan nyawa buruh migran.

"Sepengalaman kita dalam menangani kasus-kasus buruh migran indonesia, regulasi yang ditetapkan pemerintah masih sangat lemah dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran kita yang didominasi oleh kaum perempuan," kata Risca.