Pasal Makar Dinilai Rawan Disalahgunakan
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin, mengkritisi Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur soal makar atau penggulingan pemerintahan yang sah.
Ia menuturkan, pasal ini sangat rawan digunakan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan ekspresi masyarakat.
Dalam laporan evaluasi Hak Asasi Manusia (Universal Periodic Review) PBB yang dikeluarkan pada 2012 menyebutkan kalau pasal ini sebaiknya dihilangkan karena dianggap multitafsir.
"Rekomendasinya adalah pemerintah harus merevisi pasal tersebut dan memberikan pengertian yang jelas ekspresi politik warga ini tidak lagi direpresi dengan menggunakan pasal 106," kata Asep, di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Ia melanjutkan pasal dengan tuduhan makar ini sebenarnya sudah dikenakan kepada sejumlah aktivis terkait menyamapaikan pendapat di muka umum. Dan hal itu disebutkan Asep banyak terjadi pada aktivis yang berdomisili di Papua dalam berbagai kesempatan karena menyampaikan ekspresi politiknya.
"Misalnya, dengan berteriak merdeka. Itu sudah dikenakan pasal makar. Padahal ini baru merupakan ungkapan atau ekspresi politik warga negara berkaitan dengan situasi dan kondisi," ujar dia.
Seperti diketahui, saat aksi massa pada 2 Desember 2016, kepolisian menangkap 10 tokoh yang dianggap berencana menggulingkan pemerintahan yang sah atau biasa disebut makar.
Menurut polisi, mereka akan mendatangi Gedung DPR / MPR dengan tujuan mengerahkan massa aksi 212 dan meminta parlemen melakukan Sidang Istimewa, mencabut mandat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.