Revisi KUHP, Sebar Informasi Alat Kontrasepsi Akan Dipidana
- Pixabay/Anqa
VIVA.co.id – Yayasan Cipta Cara Padu, Institute For Criminal Justice Reform, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mengkritisi pembatasan pemberian informasi dan edukasi Keluarga Berencana, seperti yang tertera dalam naskah revisi KUHP Pasal 481 dan 483.
Saat ini kedua pasal tersebut sedang dalam pembahasan di DPR. Menurut Direktur YCCP, Inne Silviane, kedua pasal itu sebaiknya dihilangkan karena tak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pembangunan kesehatan.
"Pasal 481 dan 483 RKUHP sangat kontraproduktif dengan upaya berbagai pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, dalam menjalankan program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak, serta meningkatkan kesejahteraan keluarga," ucap Inne dalam siaran pers yang diterima Kamis, 8 Desember 2016.
Sebab, pada penjelasan Pasal 481 dinyatakan mereka yang secara terang-terangan menawarkan dan menunjukkan alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi, seperti kondom, pil KB, bisa dipidanakan.
Penggunaan unsur "tanpa hak” yang tertuang pada pasal itu, menguatkan konsep hanya petugas berwenang yang dapat memberikan informasi mengenai alat kontrasepsi.
Padahal pemberian informasi dan layanan kontrasepsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh negara. Pihak swasta dan masyarakat sipil pun ramai-ramai berbagi informasi.
"Pemberlakuan Pasal 483 RKUHP berpotensi menyebabkan over-kriminalisasi kepada para penyedia layanan, juga pedagang kecil yang menjual alat kontrasepsi secara terbuka," ucapnya.
Dalam catatan aliansi ini, bila pasal tersebut disahkan akan mengganggu filosofi program KB dan Kespro di Indonesia. Terlebih, pentingnya peranan masyarakat dalam kesukesan program KB dan Kespro sudah diakui melalui Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan kependudukan dan pembangunan Keluarga.
Selain itu, pasal-pasal itu mengancam akses informasi program KB dan Kespro. Sedangkan penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia sejak 2006 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat. Fakta ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dalam penggunaan alat kontrasespsi.
"Pasal tersebut juga mengancam kegagalan kontribusi pemakaian kontrasepsi modern," jelas Inne.
tak hanya itu, jika disahkan, kedua pasal tadi juga mengancam keselamatan masyarakat terkait program penanggulangan HIV dan AIDS, serta Infeksi Menular Seksual.
Menurut Inne, penanggulangan IMS masih menjadi persoalan serius yang perlu segera diselesaikan. Berdasarkan data Survei Demografik dan Kesehatan Indonesia di 2012, menunjukkan sumber utama pengetahuan masyarakat disediakan sektor swasta, dalam hal ini adalah televisi, radio, majalah, surat kabar.
Sementara peran dari tenagakesehatan dalam pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi hanya 17 persen. Sumber informasi terkait HIV dan AIDS hanya 8 persen.
Melihat data di atas, jika pemberian informasi hanya boleh dilakukan petugas kesehatan, maka masyarakat akan semakin kesulitan mendapatkan akses informasi terkait KB dan Kespro untuk melindungi diri.
"Tanpa keterlibatan masyarakat jelas akan menghambat keberlangsungan program KB dan Kespro di Indonesia."