Desa Tumaluntung, Memanen Berkah dari Kotoran Babi
- VIVA.co.id/Hari Agustinus
VIVA.co.id – Lebih dari tiga tahun lalu, kotoran babi selalu menjadi masalah pelik bagi masyarakat Desa Tumaluntung di Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Aroma busuk yang menyengat dari kandang babi itu memicu ketidaknyamanan.
Tapi, seiring waktu, dengan sentuhan kreatifitas ternyata berkat kotoran babi juga, warga desa ini kini bisa memanen berkah. Tidak ada lagi kotoran babi menyengat.
Semua berubah menjadi sumber kehidupan. Setelah kotoran yang dulunya menggunung kini diubah menjadi atau energi alternatif.
"Semakin banyak kotoran ternak yang diolah, maka makin banyak gas yang dihasilkan," kata Youdi Mandagi, petani setempat yang ikut menggagas berdirinya Kelompok Karioka atau kelompok petani pemanfaat limbah kotoran babi di Desa Tumaluntung Sulawesi Utara, Kamis, 1 Desember 2016.
Penggunaan biogas di Tamaluntung telah dinisiasi sejak tahun 2013. Setelah ada kesepakatan bersama warga untuk membangun reaktor untuk memproduksi biogas.
Setelah itu, setiap kotoran ternak babi milik warga yang banyak dekat pemukiman dikumpulkan dan ditampung di dalam reaktor. Baru kemudian pada awal tahun 2014, biogas itu bisa dimanfaatkan. "Baik gas kompor dan gas listrik bisa dimanfaatkan," ujar Youdi.
Menurut Youdi, dalam 50 kilogram kotoran yang dihasilkan dari 70 ekor ternak babi. Biasanya bisa menghasilkan 10 kubik gas yang kemudian bisa dimanfaatkan dengan rentang waktu antara 5 sampai 6 jam per hari di puluhan rumah tangga.
Hebatnya lagi, pemanfaatan biogas itu diberikan cuma-cuma kepada warga. Sehingga kini banyak warga yang kini mulai berminat memasang instalasi listrik langsung dari reaktor gas.
"Masyarakat bisa menghemat biaya rumah tangga hingga ratusan ribu rupiah dalam satu bulan. Ke depan juga kami akan mengganti pipa instalasi yang lebih besar dan menjangkau lebih banyak rumah penduduk," tambah Ketua Kelompok Petani Karioka Charles Karamoy.
Menurut konsultan Pertanian Terpadu, Herry Rumimper yang ikut membantu warga, keunggulan biogas dalam bentuk gas memiliki tekanan yang rendah dan cepat menguap sehingga tidak berisiko meledak. Berbeda dengan risiko dari gas elpiji berbentuk cair dengan daya ledak kuat.
"Karena relatif aman, penyaluran gas pun hanya menggunakan pipa PVC 2 inc," katanya.
Biogas biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob).
"Penggunaan dari energi biogas sebagai bahan bakar berdampak positif karena mengurangi pencemaran lingkungan. Ini dapat dimanfaatkan masyarakat di tengah kelangkaan energi dan harga minyak bumi yang melambung pada masa kini,” katanya.
Pertanian Hijau
Di bagian lain, konsep energi alternatif biogas di Desa Tumaluntung itu rupanya juga menularkan pada pola pertanian hijau bagi warga setempat.
Lewat Kelompok Karioka, kini juga dikenalkan pola pertanian organik bagi warga. Dari pantauan, terlihat ada lokasi persemaian bibit organik dan pembuatan kompos.
FOTO: Persemaian bibit pertanian organik di Desa Tumaluntung Kabupaten Minahasa Utara, Kamis (1/12/2016)/Hari Agustinus
Di halaman kecil yang dulunya jadi lokasi pembuangan sampah, kini justru ditemukan beragam produk pertanian organik, seperti sayur pakcoy, seledri, kacang-kacangan, cabai, tomat, bawang, pisang, umbi-umbian dan lainnya.
Charles Karamoy mengaku, hasil pertanian biasanya dijual kembali dan keuntungannya dibagi kepada anggota kelompok. Namun terkadang, produk yang ditanam, dimanfaatkan oleh anggota kelompok untuk keperluan pribadi.
"Kendala yang ada sekarang, bantuan modal pertanian dari pemerintah biasanya dipotong terlalu besar dan kami tidak tahu alasannya. Misalnya bantuan sebesar Rp20 juta, yang kami terima tinggal Rp11 juta. Ini sangat kami sayangkan," ujarnya.
(ren)