Panitera PN Jakarta Pusat Terancam 20 Tahun Penjara

Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, M. Santoso, memakai rompi tahanan Komisi Peberantasan Korupsi (KPK).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Santoso, turut serta menerima suap sebesar SGD28.000. Uang itu diterimanya untuk diberikan kembali kepada hakim guna memengaruhi putusan perkara perdata antara PT Mitra Maju Sukses (MMS) melawan PT Kapuas Tunggal Persada (KTP).

"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji," kata Jaksa KPK, Muhammad Asri Irwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jl. Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 14 November 2016.

Jaksa Asri menjelaskan, uang tersebut diberikan pengacara Raoul Adhitya Wiranatakusumah melalui stafnya Ahmad Yani. Dalam perkara itu, Raoul adalah penasehat hukum pihak tergugat, yakni PT KTP.

Perkara tersebut ditangani oleh tiga orang hakim yakni Partahi Tulus Hutapea, Casmaya dan Agustinus Setya Wahyu.

Atas perbuatan ini, Santoso didakwa melanggar Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kronologinya, sambung Jaksa bahwa ?pada 4 April 2016, saat persidangan memasuki tahap pembuktian, Raoul menghubungi Santoso selaku panitera pengganti dan menyampaikan keinginan untuk memenangkan perkara tersebut. Raoul berharap hakim menolak gugatan yang dilayangkan PT MMS.

Santoso kemudian menyarankan supaya Raoul bertemu Hakim Partahi. Tapi karena Partahi tak ada di ruangannya, Raoul akhirnya menemui Casmaya yang juga salah satu anggota Majelis Hakim. Itu dia lakukan pada 13 April 2016.

Kemudian, awal Juni 2016, Ahmad Yani yang merupakan karyawan Raoul diajak ke PN Jakpus, dan diperkenalkan dengan Santoso. Ahmad Yani diminta berkomunikasi dengan Santoso terkait perkara yang sedang diurus.

Pada 17 Juni 2016, Raoul kemabli menemui Santoso dan menjanjikan memberikan uang SGD 25.000 untuk Majelis Hakim, apabila gugatan diputuskan ditolak. Santoso juga dijanjikan mendapat fee sebesar SGD 3.000.

Selanjutnya, pada 22 Juni 2016, Raoul datang menemui Ketua Majelis Hakim, yaitu Partahi Tulus Hutapea di PN Jakpus. Raoul mengatakan ingin dimenangkan dan Janji memberi uang SGD 25.000.

Atas penyampaian tersebut, Partahi mengucapkan terima kasih dan meminta pemberian dilakukan setelah putusan.

Kemudian, Raoul meminta agar Ahmad yani mengambil uang di bank dan menyiapkan uang sesuai dengan janji yang akan diberi kepada hakim dan panitera PN Jakarta Pusat. Raoul meminta Ahmad Yani memisahkan uang yang diperuntukan bagi Partahi dan Casmaya, maupun untuk Santoso.

"Untuk majelis hakim, uang dimasukan ke dalam amplop putih bertuliskan HK, berisi SGD 25.000, sementara untuk Santoso bertuliskan SAN, berisi. SGD 3.000," kata Jaksa Asri.

Kemudian, pada 30 Juni 2016, Majelis Hakim memutus gugatan yang diajukan PT MMS tidak dapat diterima. Tapi setelah putusan, Raoul menyampaikan ketidakpuasannya kepada Santoso. Pasalnya ia ingin gugatan ditolak, bukan tidak dapat diterima.

Namun, Raoul tetap menegaskan komitmennya soal uang. Santoso menyampaikan bahwa putusan tersebut adalah bentuk bantuan yang dapat dikasih majelis hakim kepada Raoul.

Dalam rangka penyerahan uang, Santoso menghubungi Ahmad Yani,? dan meminta uang yang telah dijanjikan bagi majelis hakim. Sebelumnya, saat bertemu di Pengadilan, Hakim Casmaya menayakan kepada Santoso mengenai janji yang diutarakan Raoul.

Santoso kemudian mengambil uang SGD28.000 di Kantor Wiranatakusumah Legal and Consultant yang beralamat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Naasnya, setelah uang diterima, Santoso ditangkap petugas KPK.

(ren)