Menyulap Facebook Jadi Beasiswa
- VIVA.co.id/Zulfikar Husein
VIVA.co.id – Matahari masih mengintip dari ufuk timur. Cahayanya lurus ke langit dan beberapa garis terlihat memancar menyusuri birunya lautan. Sebuah kapal nelayan memotong garis-garis cahaya matahari yang lurus dan memancar di laut.
Tak jauh dari bibir pantai, seorang remaja baru saja selesai menyapu halaman rumah. Daun-daun yang kering ia kumpulkan pada satu tempat dengan rapi. Beberapa pelepah kelapa kering ditariknya menjauh dari halaman rumah itu. Setelahnya ia melangkah ke dalam rumah kayu bercat kuning tua.
Namanya Sani Saputri. Dara cantik berusia 17 tahun ini tampak semangat sambil beberapa kali melepar senyum semringah di atas sepeda motor yang melaju perlahan menuju sekolahnya. Hampir tak ada percakapan antara ia dan abang sepupunya yang mengantarkannya itu.
Tiba di sekolah, ia jalan lurus melewati gerbang sekolah dan menyalami beberapa guru yang duduk di bangku piket sekolah. Usai menyimpan tas di kelas, ia berburu menuju lapangan upacara bersama sejumlah rekannya. Hari itu Senin, seperti biasa sekolah mengadakan upacara bendera.
Siswa ‘putih abu-abu’ itu berkerumun di depan ruang laboratorium yang berada di lantai dua. Mereka menunggu gurunya datang membawa kunci sambil berdiri dan bercerita. Dara berjilbab besar itu tampak diam dan hanya memandang buku-buku yang ada di genggamannya.
Seorang guru datang dan membuka pintu ruang yang dipenuhi sejumlah perangkat komputer dan juga sejumlah piala yang tersusun rapi di atas meja. Sulaiman, sang guru membagi siswanya menjadi 6 kelompok belajar. Sani kelompok lima bersama lima siswa lainnya.
Satu tahun yang lalu, nama Sani Saputri hampir tidak tercatat dalam daftar siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Lhokseumawe. Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di desanya, Sani putus sekolah, karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkannya.
Saat itu, tahun 2013 silam, ia lebih sering mengurusi adiknya dibanding berkutat dengan buku-buku, atau sekolah layaknya anak-anak pada seusia dengannya. Ia tidak diperbolehkan sekolah oleh orang tuanya karena tak mampu membiayai.
“Lulus SMP, Sani enggak sekolah selama setahun, karena tidak punya uang dan enggak dikasih sekolah sama ayah, karena ayah juga enggak punya uang untuk biaya Sani sekolah,” ujar Sani Saputri, kepada VIVA.co.id, saat ditemui di sekolahnya awal Oktober 2016.
Ia sudah berputus asa untuk berharap bisa masuk sekolah SMA. Dia tak berani bermimpi dan mengubur dalam-dalam harapannya untuk bisa melanjutkan sekolah. Ia ingin bahagia merasakan masa-masa SMA seperti anak-anak lainnya.
Sani lahir di Lhok Gajah, Sawang, Kabupaten Aceh Utara, pada 26 Juli 1999. Ia anak pertama dari pasangan Habibullah yang merupakan seorang muallaf dan Marjannah. Sebelum pindah ke rumah adik ibunya di Hagu barat Laut Lhokseumawe, ia bersama adiknya Muhammad Wali Alkhalidi (7 tahun) tinggal di sebuah rumah yang lebih layak disebut gubuk.
Atap rumahnya bocor, dinding menggunakan pelepah rumbia dan lantainya tanah. Tak punya ruang tamu, ruang keluarga, dapur atau bahkan kamar tidur. Gubuk kecil itu adalah ruang serbaguna yang mereka gunakan untuk menyambut tamu, memasak, hingga merebahkan diri saat malam tiba.
Facebook mengubah hidup Sani
Kini, harapan yang sempat ia kubur kembali hadir. Ia sudah bisa mengenakan seragam putih abu-abu dan bersekolah di salah satu sekolah kejuruan favorit di Kota Lhokseumawe. Di sekolah, Sani menjadi salah satu anak berprestasi.
“Anaknya rajin, dia termasuk anak yang aktif, tetapi tidak terlalu unggul. Mungkin, karena anaknya pendiam dan mungkin karena malu juga,” ujar Sulaiman, salah seorang guru Sani untuk mata pelajaran Akuntansi.
Cerita baru dalam kehidupan Sani mulai berubah ketika seorang pemuda bernama Edi Fadhil, membantunya untuk sekolah melalui media sosial facebook. Tak hanya sekolah, tetapi facebook yang dimanfaatkan pemuda tersebut juga membantu mengganti gubuknya menjadi rumah layak huni.
Pada 6 Juni 2015, Edi Fadhil, memfoto dan mem-posting rumah gubuk Sani ke dalam aku facebook miliknya. Pada kolom status, ia menulis cerita tentang Sani dan keluarganya. Edi juga menceritakan bagaimana saat itu Sani sedang menganggur, karena tak bisa melanjutkan sekolah.
Pada bagian akhir ceritanya, ia menantang sahabat dunia mayanya untuk membantu pembangunan rumah keluarga miskin tersebut. Statusnya diberi judul ‘1 like dan koment = Rp.100.000’. Siapa yang me,beri tanda like atau komentar, ia wajibkan untuk menyumbang minimal sebesar Rp100 ribu.
Dua bulan kemudian, dari statusnya itu ia berhasil mengumpulkan dana hampir Rp30 juta. Dana itu kemudian digunakannya untuk membangun rumah layak huni untuk keluarga mungil di daerah terpencil dan tertinggal di Aceh Utara tersebut.
Tak hanya rumah, Edi juga menemukan donor yang mau memberikan beasiswa untuk Sani, agar ia bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Sebuah lembaga yang beralamat di Jakarta bersedia menjadi orangtua asuh bagi Sani Saputri.
FOTO: Sani Saputri bersama rekan kelasnya saat belajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Lhokseumawe/Zulfikar Husein
Sejak saat itu, Edi menggagas program beasiswa yang diberi nama GMB-Mari Sekolah, yang kemudian disederhanakan menjadi Gerakan Mari Sekolah (GMS). Semua anak dan donornya ditemukan Edi melalui facebook.
“Mulai dari situlah, kemudian beberapa teman di FB menginboks saya dan mengajukan sejumlah anak yang putus sekolah, anak miskin dan sebagainya, lalu saya carikan donor dengan menggunakan fb juga,” ujar Edi, saat ditemui VIVA.co.id, disebuah kedai kopi di Banda Aceh.
Semua anak yang diajukan tersebut katanya, ditampung dan akan diusahakan untuk mendapatkan beasiswa. Sementara itu, yang mengajukan ia wajibkan pendamping yang bertugas untuk mendampingi si ana,k agar benar-benar memanfaatkan beasiswa sebaik mungkin.
Tidak sulit bagi Edi untuk mencarikan donor bagi si anak. Ia cukup menulis cerita dan mengunggah foto si anak ke akun facebook-nya, lalu sejumlah donor menawarkan diri mereka untuk menjadi orangtua asuh si anak.
“Banyak donor yang mengajukan dirinya ke saya untuk menjadi orangtua asuh, mereka biasa mengirimkan pesan lewat inbox setelah membaca status-status saya, bahkan kadang kita sudah punya donornya baru kemudian kita mendapati anak-anaknya,” katanya.
Selain facebook, ia juga memanfaatkan media sosial lain seperti layanan blackberry messenger dan WhatsApp. Hampir semua komunikasi termasuk memberi laporan perkembangan beasiswa dan anak menggunakan media sosial tersebut.
Saat ini, gerakan yang dimotori melalui media sosial facebook itu, sudah memberi beasiswa sebanyak 147 anak yang tersebar di tujuh kabupaten/kota di Aceh. Mulai dari Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Langsa, Bireuen, Aceh Besar, dan Banda Aceh.
GMS memiliki penerima beasiswa, di mana di antaranya 70 orang di antaranya siswa SD, 50 siswa SMP, dan 27 orang siswa SMA sederajat. Setiap anak memperoleh jumlah beasiswa beragam, mulai dari Rp130.300 hingga Rp250 ribu per anak.
Sementara itu, jumlah pendonor yang tercatat mencapai 80 orang yang berasal dari berbagai daerah dan pendamping lebih dari 50 orang. “Pendonor ada dari Aceh sendiri, ada yang dari Jakarta dan sejumlah tempat di luar Aceh, bahkan ada yang dari luar negeri seperti Malaysia, juga ada dari Qatar,” jelas Edi.
Ribuan anak Aceh putus sekolah
Tahun 2015, buku analisis kinerja Pendidikan Provinsi Aceh mencatat sebanyak 2.295 anak Aceh tidak sekolah, atau putus sekolah. Dari lima juta jiwa jumlah total penduduk Aceh, sebanyak 21,26 persen dari jumlah tersebut merupakan anak usia sekolah antara 7 - 18 tahun.
Padahal, saat ini biaya pendidikan di paling barat di Indonesia itu sudah gratis. Kemudian, dana untuk pendidikan di provinsi yang pernah dilanda konflik hingga 30 tahun lamanya itu cukup fantantis. Sebesar 20 persen dari total belanja anggaran baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota dialokasikan untuk pendidikan.
Selain itu, dana melimpah untuk pendidikan juga diperoleh dari hak otonomi khusus (otsus) dan bagi hasil minyak dan gas. Aceh juga memperoleh dana otonomi khusus (otsus), di mana sejak 2008 hingga 2015, Aceh telah mengelola dana otsus mencapai Rp42,2 triliun, dan tahun ini Rp7,7 triliun.
FOTO: Salah seorang siswa miskin penerima bantuan pendidikan di Aceh menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada pemberi bantuan lewat jejaring sosial facebook/Zulfikar Husein/Facebook
“Keprihatinan menjadi dasar untuk menginisiasi ini. Keprihatinan, artinya kita bisa sekolah, tetapi ada anak-anak yang tidak bisa sekolah, kita bahkan bisa mendapat akses untuk minimal tamat sarjana. Tetapi, ada anak-anak kita hari ini yang sekolah saja tidak bisa, dan harusnya sekarang mereka itu bisa bersekolah,” ujar Fadhil.
Salah seorang donor GMS, Nunik Eka Sari mengatakan, ia tertarik menjadi salah seorang donor GMS, karena turut prihatin dengan kondisi anak-anak yang kehilangan kesempatan untuk sekolah. Setelah membaca status Edi Fadhil di facebook, ia merasa terdorong untuk membantu anak-anak tersebut.
“Diawal-awal, bang Edi itu kasih kayak hasil survei gitu di FB, tentang anak-anak ini, kondisi rumahnya gimana, kondisi keluarganya gimana. Jadi, pas lihat kondisi seperti itu, jadi memang berasa kasihan butuh bantuan ini,” kata Nunik.
Menurut Nunik, GMS sejauh ini dipandang sebagai salah satu program yang cukup bermanfaat. Penggunaan media sosial juga disampaikan Nunik sebagai salah satu terobosan baru, bagaimana memperbanyak kegiatan positif di media sosial.
Aktivis Information and Communication Technology, atau ICT Watch, Tjatur Heru mengatakan, apa yang dilakukan Edi Fadhil adalah bagian mengisi konten positif di media sosial. Sebelumnya, kata Tjatur, kasus-kasus pornografi dan penculikan anak lewat facebook, membuat masyarakat beranggapan bahwa internet itu berbahaya.
Untuk mendorong dampak positif internet, katanya, ada tiga prinsip internet sehat yang bisa dilakukan. “Menumbuhkan konten lokal yang positif, bermanfaat dan menarik bagi anak, melakukan self filtering pada tingkat keluarga di rumah dan pendidikan di sekolah, lalu yang terakhir melakukan dialog dan kerja sama inklusif, sinergis, dan setara untuk tata kelola internet,” katanya.
Melalui facebook, GMS berperan sebagai pihak yang menjembatani antara orang-orang kaya dan orang miskin. “Kita berada di tengah untuk memfasilitasi, orang yang ada duit jadi donor, anak yang putus sekolah jadi penerima manfaat, kita ada di tengah sebagai orang yang menjembatani begitu posisinya,” kata Fadhil.
Saat ini, beberapa anak yang sejak SMP mendapat GMS sudah SMA. Beberapa anak yang pernah satu sampai dua tahun putus sekolah, memperoleh nilai ujian di atas rata-rata kelas. Anak-anak yang dulunya hampir kehilangan kesempatan untuk sekolah, kini justru berprestasi di sekolahnya.
“Terbukti, selama ini adik-adik hanya belum beruntung untuk mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Begitu kesempatan itu datang, Alhamdulillah mereka buktikan bahwa mereka adalah anak-anak yang hebat,” ujarnya sumringah.
Facebook menjadi awal langkah dara yang lahir di pelosok Aceh Utara bisa membuka pintu harapannya. “Sani sangat senang bisa sekolah lagi, Sani ingin membahagiakan ayah sama mama. Sani juga ingin seperti anak-anak lain yang bisa sekolah. Setelah lulus nanti Sani ingin bekerja di bank dan bisa membantu biaya sekolah adik, biar adik tidak sempat menganggur seperti Sani,” harapnya. (asp)