Menggagas Kelompok Perempuan Penjaga Hutan Warisan Dunia

Komunitas perempuan penjaga hutan warisan dunia yang ada di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Para perempuan ini bersedia membangun komitmen untuk melindungi kawasan hutan lewat potensi perempuan dalam perlindungan sumberdaya hutan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Harry Siswoyo

VIVA.co.id – Kening Mey mengkerut mengingat-ingat soal kearifan lokal tradisi warga desanya menjaga kawasan hutan. Ia kesulitan merekam detail apa yang menjadi kebiasaan warga desanya sejak masa lampau.

Meysena Putri Mulya, demikian nama lengkapnya. Perempuan berusia 18 tahun ini adalah seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan tinggi di salah satu kampus yang ada di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu.

Ia, kini setidaknya menjadi representasi memudarnya transfer informasi pengetahuan lokal tentang kearifan warga pinggir hutan bagaimana merawat kehidupan. Tentunya, Mey bisa dipastikan tidak sendiri. Kondisi ini mungkin nyaris menelusup hampir di setiap generasi muda.

"Saya tidak ingat persis. Saya cuma pernah mendengar cerita tentang tradisi dulu (kearifan) dari orangtua," kata Mey dalam sebuah diskusi bersama dengan kelompok perempuan yang difasilitasi perkumpulan lembaga kajian advokasi dan edukasi, LiVe, pekan lalu.

Kabupaten Rejang Lebong, tempat Mey kini berdomisili, merupakan salah satu wilayah yang kini menjadi bentangan kawasan hutan yang terikat dalam sebutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), atau warisan hutan dunia (world heritage) yang telah ditetapkan oleh komite warisan dunia UNESCO sejak tahun 2004.

Dengan total kawasan hutan TNKS sebesar 26.830 hektare, ia menjadi rumah bagi ribuan spesies tumbuhan, satwa, jutaan kayu hutan dan beragam sumber ekonomi non kayu bagi warga di Rejang Lebong.

Namun, di balik melimpahnya kawasan hutan itu ternyata memberi ancaman. Data Kantor Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah III Rejang Lebong, setidaknya pada 2010, sudah ada 7.000 hektare kawasan hutan dirusak dan jumlah ini meluas hingga 20 persen pada tahun ini.

Minimnya kesadaran masyarakat, desakan ekonomi dan terbatasnya sumberdaya yang menjadi penjaga kawasan hutan pun menjadi muasal masalah itu. Alhasil, kondisi inilah yang kini membuat titipan warisan dunia di Bengkulu perlahan mengelupas oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Perempuan dan Lingkungan
Secara keseluruhan, setidaknya ada 70 persen perempuan di Indonesia yang tinggal di pedesaan. Mereka hidup berdampingan erat dengan lingkungan.

Para perempuan inilah yang sejak lampau bertugas sebagai pengelola rumah tangga dan penanggungjawab urusan domestik mulai dari penyediaan pangan, kesehatan, hingga pun ke energi.

Karena itu, perempuan di desa menjadi pengontrol sekaligus penerima manfaat langsung dari kondisi lingkungan tinggal yang baik. Sedikit saja ada sentuhan kerusakan di kawasan hutan atau lingkungan tinggalnya, maka bisa dipastikan perempuan lah yang menjadi penerima dampak pertama.

"Perempuan merupakan korban paling buruk dari kerusakan lingkungan hidup," kata Dedek Hendri, fasilitator Perkumpulan LiVe Bengkulu.

FOTO: Proses diskusi dan bertukar informasi komunitas perempuan penjaga hutan warisan dunia, TNKS, di Kabupaten Rejang Lebong.

Di Bengkulu, sejauh ini kata Dedek, memang belum ada inisiasi khusus yang menempatkan arti penting perempuan untuk penjagaan kawasan hutan. Padahal, sebagai pihak yang memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan.

Kehadiran perempuan patut diperhitungkan untuk melindungi hutan warisan dunia TNKS. Perempuan dianggap sosok yang memiliki referensi pengetahuan tentang tanah, air, pohon, hutan, obat-obatan serta asupan gizi untuk rumah tangganya.

"Karena itu, penghormatan dan pemenuhan hak perempuan atas akses informasi untuk berkomunikasi, berpartisipasi, mempengaruhi dan terlibat membuat keputusan terkait hak mereka untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat wajib dipenuhi," kata Dedek.

Atas itulah, kini sekelompok perempuan muda di Bengkulu mendeklarasikan diri menjadi komunitas penjaga warisan dunia tersebut. Harapan besarnya adalah mereka bisa menjaga dan menginventarisir beragam pengetahuan perempuan tentang perlindungan hutan.

Tak cuma itu, lewat inisiasi itu juga diharapkan menjadi model pemberdayaan perempuan di kawasan hutan TNKS yang mendasarkan pada hak perempuan. "Dari perempuan, oleh perempuan dan untuk perempuan," tambah Eva Juniar (21), yang kini telah didaulat menjadi ketua komunitas perempuan penjaga warisan dunia di Bengkulu.

Ya, langkah kecil itu, bagi Eva, menjadi awal mula pengakuan perempuan untuk perlindungan kawasan hutan. Mahasiswi yang kini menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Bengkulu itu mengaku siap berkomitmen bersama perempuan lainnya menjaga warisan dunia.

Singkatnya, kehadiran para perempuan ini juga diharapkan mampu menggugah kesadaran bahwa mereka memiliki hak untuk menentang kemerosotan ekologis atau pun juga menjadi pendorong pemerataan hak akses perempuan atas kepemilikan sumberdaya alam dan sosial yang ada di tengah masyarakat.

"Mohon dukungan, agar komitmen komunitas ini bisa terwujud," ujar Eva. (asp)