Penerapan Qanun Jinayat di Aceh Perlu Dikaji Ulang

Warga Aceh yang melanggar saat dihukum cambuk dengan rotan. (Ilustrasi)
Sumber :
  • REUTERS/Junaidi Hanafiah

VIVA.co.id – Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat) yang telah diterapkan di Aceh selama satu tahun hinngga 23 Oktober 2016 ini, dinilai Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat, berpotensi mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan.

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ayu Ezra Tiara menilai Qanun Jinayat terkesan dipaksakan sejak proses pembentukannya. Hal itu terlihat dari pembahasannya yang terburu-buru dan minim partisipasi publik.

"Qanun belum dapat diterapkan di Indonesia. Jika merujuk negara Islam, di Arab, Arab saja untuk kodifikasi hukum Islam membutuhkan waktu yang lama," ujar Ayu di YLBHI Jakarta pada Minggu, 23 Oktober 2016.

Menurut Ayu, meskipun sudah satu tahun berjalan, namun hukum tersebut belum tepat diterapkan. Selain karena pembuatannya terkesan dipaksakan, di sisi lain hukum di Indonesia sangat dinamis.

"Kalau kita hanya main kodifikasi saja, itu tidak bisa. Keadaan hukum di Indonesia juga berubah-ubah, jadi apakah bisa diterapkan?" ungkapnya.

Sementara, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sarifudin mengungkapkan, Aceh masih memiliki banyak persoalan kesejahteraan yang seharusnya menjadi perhatian selain mengutamakan persoalan qanun jinayat yang meliputi persoalan moral.

"Hukum dicambuk lebih banyak terdengar daripada hukum korupsi. Apa di sana tidak ada korupsi? Jangan malah enggak diperhatikan keadilan hukum yang lain dan masalah kesejahteraan, seperti angka kematian ibu melahirkan, angka kemiskinan," ujarnya.

Implementasi Qanun Jinayat yang terkesan terburu-buru dan tidak meratanya penanganan persoalan masyarakat  membuat peraturan itu ibarat sekadar pencitraan atas nama agama.

"Kecenderungan politisasi agama untuk menggalang dukungan. Berbau agama kan menimbulkan citra agamis tapi ini Islam yang seperti apa? Padahal Aceh persoalan kesejahteraan banyak, tapi terkesan hanya fokus pada Qanun Jinayat," kata dia.

Dia mengingatkan  penerapan syariat Islam di Aceh masih multi tafsir karena terkesan tidak Rahmatan Lil 'Alamin atau menjadi berkah bagi masyarakat.

Pada tahun 2015 Solidaritas Perempuan melakukan survei 2.386 perempuan di wilayah Aceh yang meliputi Imarah, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada dan lainnya. Sebanyak 1.161 perempuan atau 97 persen dari mereka tidak mendapatkan sosialisasi mengenai pembentukan Qanun Jinayat. Padahal pada kasus pelanggaran penerapan Qanun Jinayat, perempuan dinilai yang banyak menjadi korban.