Setahun Qanun Jinayat, Hukum Cambuk di Aceh Makin Eksesif
- ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
VIVA.co.id – Pemerintah Indonesia didesak untuk mengakhiri hukum cambuk, sebagai sebuah bentuk penghukuman, dan merevisi beragam ketentuan di dalam Qanun Jinayat, hukum pidana Islam yang berlaku di Aceh. Sebab, hukum ini yang menyediakan pelanggaran hukum internasional dan pidana nasional.
Tuntutan ini disampaikan dalam rangka merefleksikan satu tahun penerapan hukum cambuk pada Qanun Jinayat, yang telah digunakan sebagai penghukuman untuk pelanggaran seperti menjual minuman beralkohol (khamar), hubungan seksual konsensual di luar ikatan perkawinan (zina), dan berduaan di dalam suatu tempat tertutup bersama orang lain yang berbeda kelamin di luar ikatan perkawinan (khalwat).
“Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk,“ ujar Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, 23 Oktober 2016.
Menurutnya, penggunaan hukuman cambuk juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Data Badan Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh menyatakan bahwa pada 2013, jumlah kasus yang tercatat sebanyak 428 kasus, Tahun 2014 sebanyak 515 kasus dan tahun 2015 sebanyak 548 kasus. Pada 2015, paling tidak 108 orang dieksekusi hukum cambuk.
“Hukum cambuk ini secara rutin dilakukan di ruang-ruang publik untuk menarik perhatian banyak orang di mana mereka bisa mengambil foto dan video yang bisa menambah malu dan penderitaan jangka panjang bagi mereka yang dihukum oleh penghukuman yang kejam, menyakitkan, dan merendahkan martabat semacam ini,” jelasnya.
Di 2016 berdasarkan pemantauan ICJR, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat sejak Januari sampai September 2016. Di antara putusan itu, sedikitnya 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.
Dalam sepanjang pelaksanaan eksekusi cambuk tersebut, ICJR juga mendapati pelaksanaannya sarat akan pelanggaran.Penggunaannya diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan. Serta menghasilkan budaya kekerasan, karena dipertontonkan secara umum.
“ICJR Meminta Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk corporal punishment dalam peraturan perundang-undangannya dalam hal ini menghapuskan hukuman cambuk,” ucap Supriyadi.
Selain itu, meminta Pemerintah Indonesia mengevaluasi dan meninjau kembali keberadaan Qanun Jinayat di Aceh. Masyarakat juga diharapkan mengawasi pelaksanaan hukum ini karena sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran.