Si Jagal Ular, Menggantung Nyawa dari Bisa
- VIVA.co.id/Daru Waskita
VIVA.co.id – Memiliki pekerjaan berisiko nyawa, tidak semua orang hendak melakukannya. Namun kadang demi hidup, profesi berbahaya ini harus dilakoni.
Hal itulah yang kini dilakoni Muhammad Nur Susanto. Warga Desa Timbulharjo Kabupaten Bantul ini nekat menggantungkan hidupnya sebagai jagal ular.
Berbekal pengetahuan yang diturunkan ayahnya yang memang mantan jagal ular berbisa. Nur kini menekuni hidup sebagai jagal ular piawai dan tersohor di desanya.
"Saya belajar menjadi jagal ular sejak usia empat tahun. Belajar sendiri dari ayah saya yang juga sebagai jagal ular," katanya, Kamis, 6 Oktober 2016.
Bekerja sehari-hari dengan ular berbisa jelas beirisko. Patukan ular menjadi ancaman paling mematikan. Namun hal ini sudah menjadi biasa bagi Nur. Setidaknya ia menagku sudah 20 kali ular berbisa mematuk dirinya.
"Biasanya kalau digigit ular saya melakukan pertolongan sendiri. Bisa ular saya sedot keluar, jika kondisi memburuk saya ke rumah sakit. Sudah dua kali saya harus dirawat di rumah sakit," ujar pria yang dikarunia tiga anak ini.
Suami dari Wahyu Nur Wijayanti ini biasanya memotong ular jenis piton dan kobra. Ukuran ular yang bisa dipotong minimal 3,5 meter. Di bawah ukuran itu Nur mengaku tidak mau memotong.
Dia mendapatkan ular dari warga yang menyetor ke rumahnya. Harga beli ular dari warga cukup bervariatif tergantung dari ukuran dan kondisi kulit ular.
"Untuk ular yang sudah dewasa, dengan kulit ular yang belum rusak dan memiliki corak yang bagus bisa dibeli dengan harga Rp100.000 per meternya," jelasnya.
Saat musim ular, dalam satu bulan Nur Susanto mengaku mampu memotong ular jenis kobra hingga 2.000 ekor. Musim ular biasanya bersamaan dengan datangnya musim hujan. Saat hujan turun dan kelembapan tanah bertambah, ular akan keluar dari tempat persembunyiannya.
Meski begitu tahun ini menurutnya sedang sepi ular dan harga kulit ular pun sedang terpuruk. Cuaca yang tidak menentu membuat musim ular tidak bisa diprediksi.
“Biasanya kalau sudah musim hujan begini ular banyak, tapi kemarin (kemarau--red) juga hujan, jadinya mbuh ini,” katanya.
Nur Susanto menjual kulit ular kepada pengepul di daerah Gombong, Jawa Tengah. Kulit-kulit tersebut kemudian akan disetorkan kepada pabrik atau perajin untuk dibuat berbagai kerajinan seperti tas dan dompet.
Sedangkan untuk daging serta empedu ular disetorkan kepada rumah makan khusus ular di wilayah Yogyakarta. Harga daging ular menurutnya sama dengan daging yang lain, sangat fluktuatif.
Saat normal, daging ular biasanya dihargai hingga Rp20 ribu per kilogram, sedangkan untuk empedu ular dihargai Rp35 ribu rupiah per buah. "Banyak masyarakat yang memesan empedu ular kobra untuk pengobatan," ujarnya.