KPK Segera Usut Dugaan Skandal Pimpinan Komisi V DPR
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki modal kuat mengusut dugaan keterlibatan para pimpinan dan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) dan para petinggi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam skandal penyaluran program aspirasi anggota Komisi V DPR untuk berbagai proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara.
Dugaan keterlibatan mereka masuk fakta hukum majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap perkara anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti. Dari keterangan Damayanti terungkap penerima suap lain yakni anggota Komisi V DPR Budi Supriyanto. Selain itu, Damayanti juga dinilai telah mengungkap ada skenario lain atau rapat setengah kamar antara pimpinan Komisi V DPR RI dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Status Damayanti adalah justice collaborator atau pelaku kerja sama.
"Putusan Majelis Hakim menyebutkan ada keterlibatan beberapa pihak lain. Itu yang akan kami dalami. Termasuk dari keterangan (Damayanti mengenai rapat setengah kamar) itu kami akan mendalami," kata Jaksa KPK, Ronald F Worotikan usai sidang vonis Damayanti di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 26 September 2016.
Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan "rapat setengah kamar" antara pimpinan dan kelompok fraksi di Komisi V DPR RI bersama petinggi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai fakta hukum. Dengan penetapan itu, KPK yang menangani kasus ini diperintahkan untuk mengusut kasus tersebut.
"Majelis menetapkan kesepakatan yang dibahas dalam rapat tertutup dan atau rapat setengah kamar di ruang sekretariat Komisi V DPR sebagai fakta hukum," kata Hakim Sigit Herman Binaji saat membacakan putusan Damayanti.
Dalam persidangan, Damayanti pernah membeberkan bahwa pimpinan Komisi V DPR mengancam tidak akan menandatangi RAPBN yang diajukan Kemen PUPR jika tidak menampung permintaan Komisi V DPR terkait usulan aspirasi Rp 10 triliun.
"Pimpinan tidak mau melanjutkan rapat dengar pendapat dengan Kementerian (PUPR)," kata Damayanti diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.
Karena itu, kata Damayanti, terjadilah kesepakatan antara pimpinan Komisi V DPR dan pejabat Kementerian PUPR. Rapat itu hanya dihadiri Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V DPR Fraksi Demokrat Michael Wattimena, Wakil Ketua dari Fraksi PDIP Lasarus, Wakil Ketua Fraksi PKS Yudi Widiana dan Wakil Ketua Fraksi Golkar Muhidin Mohamad Said.
Sementara Kapoksi dari Fraksi Gerindra Muhammad Nizar Zahro, dari Fraksi PPP Epriadi Asda, Fraksi Hanura Fauzi H Amro, dari Fraksi PKB Muza Zainuddin, dari Fraksi PAN Andi Taufan Tiro dan dari PDIP Yoseph Umar Hadi, serta pejabat eselon I Kementerian PUPR, yang salah satunya yakni Sekjen Kemenpupera Taufik Widjojono.
Damayanti menjelaskan, awalnya pimpinan dan Kapoksi meminta kompensasi fee Rp10 triliun. Hal itu dikarenakan Kemen PUPR mendapatkan anggaran Rp100 triliun. Tapi Kemen PUPR tidak menyetujui angka Rp 10 triliun itu, sehingga diturunkan menjadi Rp7 triliun, kemudian turun lagi menyentuh Rp 5 triliun. Hingga akhirnya disepakati Rp2,5 triliun di pos Ditjen Bina Marga Kemen PUPR.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, kata Damayanti juga ditentukan fee atau kompensasi yang akan diperoleh setiap anggota Komisi V. Selain itu, disepakati bahwa setiap anggota memiliki jatah aspirasi Rp 50 miliar, Kapoksi memiliki jatah Rp100 miliar, sementara pimpinan Komisi V mendapat jatah hingga Rp450 miliar. Damayanti mengatakan, setiap anggota Komisi V mendapat jatah proyek, nilainya ditentukan pimpinan komisi dan Kapoksi. Dalam kasus ini, KPK pun telah menjerat anggota komisi V Budi Suprianto dan Andi Taufan Tiro.
Usai sidang putusan, kepada awak media, Damayanti kembali menegaskan akan merincikan siapa saja yang terlibat kasus ini kepada penyidik KPK. Terutama dugaan ketelibatan para koleganya di Komisi V DPR. Hal itu, kata damayanti, merupakan sebuah konsekuensi atas statu JC yang disematkan kepadanya. "Konsekuensinya saya akan membantu KPK, jadi saya harus kooperatif," ujarnya.