Mengapa Energi Batu Bara di Proyek Listrik Harus Dikecam
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Riset Greenpeace dan Harvard University menemukan ada 6.500 kematian dini akibat polusi udara dari aktivitas pembangkit listrik tenaga uap () yang menggunakan bahan baku .
Dalam riset itu, disebutkan bahwa penggunaan telah menjadi bukti membuat umur orang Indonesia bisa lebih pendek. Musababnya, batu bara menghasilkan polutan yang bercampur dengan udara yang dihirup manusia.
"Kalau dia (polutan) sudah masuk ke dalam sistem tubuh kita, bisa menyebabkan berbagai macam penyakit, terutama pernafasan," kata Media Officer Greenpeace Indonesia Rahma Sofiana di Bali, Jumat 16 September 2016.
Sejumlah penyakit dari polutan itu meliputi kanker paru-paru, serangan asma, infeksi dan batuk, gangguan fungsi paru-paru, gangguan perkembangan paru-paru pada anak, peradangan, pengentalan darah, dan tekanan darah.
Selain itu, polutan itu juga bisa menyebabkan stroke, penurunan IQ, penurunan fungsi sistem syaraf pusat, serangan jantung, fluktuasi detak jantung, sakit jantung, penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, gangguan perkembangan mental dan fisik dan penurunan kualitas sperma.
Sofiana mengingatkan, meski di suatu wilayah tak ada pembangkit listrik, khususnya , namun kemungkinan terpapar tetap bisa terjadi. Sebab, ada satu jenis polutan, yakni PM2.5, yang jika dikeluarkan dari cerobong , radiusnya bisa mencapai 500 kilometer.
"Maka seseorang bisa terpapar dari terdekat. PM2.5 ukurannya sangat kecil. Kalau divisualisasikan, satu rambut manusia selnya dibelah 70 dapatlah ukuran PM2.5," katanya.
15.700 jiwa terancam
Sejauh ini, dari data yang dimiiliki Greenpeace, ancaman kematian dini di Indonesia berkemungkinan akan meluas. Ini didasari rencana pemerintah untuk melakukan ekspansi pembangunan di seluruh Indonesia, dalam rangka pengadaan listrik 35 ribu Megawatt hingga 2020.
Di mana kini, untuk Pulau Jawa dan Bali saja sudah terdapat 42 . "Dalam lima tahun ke depan, 117 unit akan dibangun. Kalau itu jadi dibangun, angka 6.500 tadi bisa tambah menjadi 15.700 jiwa per tahun. Bisa dibayangkan, hidup usia orang pada umumnya lebih pendek akibat terjangkit penyakit tadi," kata Ana.
Atas itu, ia menyarankan, agar pemerintah beralih kepada energi terbarukan sebagai solusi ke luar dari persoalan polusi udara akibat energi tersebut. Saat ini, pemerintah memang memiliki program energi terbarukan, namun porsinya masih sangat kecil.
Jika dipetakan secara potensi, di masing-masing wilayah Indonesia punya karakteristik dengan potensi yang sangat luar biasa. Contohnya, di Jawa-Bali-NTT dari sumber daya angin bisa mencapai 43.278 MW. Sementara itu, yang terpasang baru sebesar 50 MW. Di Kalimantan, potensi untuk tenaga air mencapai 6.277 MW, namun baru terpasang 209 MW.
"Kita mendukung, kalau benar listrik itu untuk rakyat. Tapi sayangnya, porsi itu 60 persennya masih berasal dari batu bara. Kita sadar, tidak serta merta menutup dan beralih ke energi terbarukan. Pasti butuh transisi,"ujarnya. (asp)