Aturan Pemusnahan Kayu Sitaan Digugat ke MK

Kayu jati industri
Sumber :
  • ANTARA/Irfan Anshori

VIVA.co.id – Pegiat lingkungan hidup, Imam B Prasodjo, Andy F Noya dan Ully Sigar Rusady menggugat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) pasal 44 ayat (1) ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal tersebut berbunyi, barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.

Kuasa hukum pemohon, Munafrizal Manan mengatakan bahwa pemohon berpendapat berlakunya pasal 44 ayat (1) UU P3H telah menghilangkan hak untuk memanfaatkan kayu temuan dan sitaan dari hutan konservasi secara optimal dan bertanggung jawab untuk keperluan pendidikan dan sosial.

Pasal dalam UU P3H itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebab, dalam pasal 33 ayat (3) mengamanatkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

"Pemohon berpendapat akan lebih baik jika kayu temuan dan sitaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar dan mendesak misalnya untuk pembangunan fasilitas sosial dan pendidikan," ujar Munafrizal di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 14 September 2016.

Kata Munafrizal, pemohon menilai, negara telah dirugikan dengan adanya aturan tersebut. Alasannya, negara telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menangani kayu temuan dan sitaan tersebut baik berupa penyimpanan, pengamanan dan pemusnahan.

Karena itu, pemohon melalui kuasa hukumnya berharap, dengan mengajukan permohonan ini, Mahkamah bisa menyatakan bahwa ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU P3H bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Bila tidak dimaknai bahwa barang bukti hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian serta untuk kepentingan sosial dan pendidikan," ungkap dia.

Sementara itu dalam sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Majelis panel yang diketuai oleh hakim Arief Hidayat dengan beranggotakan Patrialis Akbar dan Suhartoyo menyampaikan sejumlah saran perbaikan. Agar gugatan yang diajukan pemohon bisa sesuai dengan ketentuan persidangan.

Misalnya, Arief menyebut menyebut bahwa legal standing yang digunakan pemohon perlu diperkuat, seperti posisi pemohon, dan kerugiannnya. Sebab, Arief menilai posisi pemohon belum jelas dalam kapasitasnya sebagai apa dan kerugiannya yang diakibatkan aturan dalam UU P3H.

"Masyarakat di manapun yang sudah terkena bencana rumahnya hancur. Kemudian, ada kayu kenapa tidak dibantu buat kita saja. Nah, dia itu yang pernah alami kerugian konstitusional secara nyata," ujar Arief.

Arief juga meminta, pemohon dengan kuasa hukumnya untuk mencermati pasal lainnya di dalam UU yang sama, agar tidak terjadi pertentangan yang bisa menimbulkan masalah, seperti pasal 21 dan pasal 101.

"Perlu dipikirkan dengan pasal ayat lain. Supaya hakim bisa diyakinkan, barang ini sayang, bisa dimanfaatkan," kata Arief.

Dalam pasal 21, disebut bahwa setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi. Sedangkan dalam pasal 101 ayat 1-3 disebut sebagai berikut:

(1) Orang per seorangan yang dengan sengaja memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang per seorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Korporasi yang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).