Kajati dan Aspidsus DKI Berisiko Terjerat Kasus Suap
- VIVA.co.id/Bayu Yanuar Nugraha
VIVA.co.id – Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang, dan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Tomo Sitepu, terancam ikut terseret dalam dugaan penyuapan. Keduanya diduga kuat terlibat dalam penyuapan terkait penghentian kasus dugaan korupsi PT Brantas Abipraya yang diusut Kejati DKI.
Dugaan keterlibatan Sudung dan Tomo ini terungkap dalam putusan Majelis Hakim atas 2 pejabat PT Brantas, Dandung Pamularno dan Sudi Wantoko, serta seorang swasta bernama Marudut Pakpahan.
Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, mendakwa ketiganya melakukan penyuapan dan atau percobaan penyuapan kepada Sudung dan Tomo. Bahkan, pada tuntutannya, penuntut berkeyakinan ketiga terdakwa hanya melakukan percobaan penyuapan.
Namun Hakim tidak sependapat. Mereka menilai perbuatan Sudi, Dandung, serta Marudut (disidangkan terpisah) merupakan tindak penyuapan sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Hakim menilai perbuatan menjanjikan sesuatu kepada Sudung dan Tomo sudah terpenuhi, meski uang tidak sampai pada keduanya.
Menurut Ahli Hukum Pidana dari Universitas lndonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, putusan hakim itu secara tidak langsung menyebut ada pihak penerima dalam perkara tersebut.
"Bila Hakim dalam Putusannya menyatakan telah ada kesepakatan antara pemberi-penerima, berarti sudah ada pihak penerima yang secara hukum harus diminta pertanggung jawaban pidananya, alias menjadi tersangka sebagai penerima janji," kata Ganjar dalam pesan singkat saat dimintai keterangannya, Minggu 4 September 2016.
Bahkan, pertimbangan dalam putusan hakim tersebut dinilai dapat dijadikan dasar untuk KPK menjerat Sudung dan Tomo sebagai pihak penerima suap. Karena Hakim menilai sudah ada 'meeting of mind' antara pihak pemberi suap dengan mereka berdua.
"Menurut saya bisa. Selanjutnya berdasarkan fakta persidangan, penyidik KPK dapat menetapkan Sudung dan Tomo menjadi tsk (tersangka)," ujar Gandjar.
Kasus Suap Tanpa Penerima
Kasus yang berawal dari tangkap tangan ini memang berbeda dengan kasus suap lain yang ditangani KPK. Pada kasus ini, KPK menetapkan 2 orang sebagai tersangka pemberi suap, dan 1 orang sebagai perantara. Namun tak ada pihak penerima.
Pihak KPK, yang diwakili penuntut umum, meyakini perkara ini hanya sebatas percobaan penyuapan, sesuai dakwaan alternatif kedua. Tapi majelis hakim yang diketuai Yohannes, menyatakan ketiga terdakwa terbukti menjanjikan sesuatu kepada Sudung dan Tomo. Pada pertimbangannya, Hakim menilai sempat ada komunikasi antara Marudut dengan kedua petinggi Kejati DKI.
Berawal saat Sudung menerbitkan surat perintah penyelidikan dugaan korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya pada 15 Maret 2016 yang diduga dilakukan Sudi Wantoko. Terkait penyelidikan itu, Tomo selaku Aspidsus Kejati DKI memanggil sejumlah staf PT Brantas Abipraya untuk diminta keterangannya.
Dandung lantas meminta bantuan Marudut untuk menyampaikan permintaan untuk menghentikan penyelidikan perkara PT Brantas kepada Sudung.
Sebagai tindak lanjut, Marudut menemui Sudung dan Tomo pada 23 Maret 2016, menyampaikan pesan Dandung itu. Sudung lantas memerintahkan Marudut membahasnya lebih lanjut kepada Tomo.
Kemudian terjadi percakapan antara Tomo dan Marudut sesuai yang diungkap di persidangan:
Marudut : “Pak, masalah kasus yang tadi seperti apa kira-kira ya, Pak?”
Tomo: “Wah, ini sudah penyidikan lay, dananya sudah dipakai mereka enggak benar. Sudah telat, lae.”
Marudut : “Tapi ini teman-teman saya bang, apa masih bisa dibantu?”
Tomo: “Ini kita dalami dulu. Nanti kita lihat, makanya segera suruh datang mereka, biar ketahuan arahnya. Nanti kalau bisa dibantu, ya kita bantu.”
Marudut: “Kalau bisa dibantu, seperti apa bang?”
Tomo: “Makanya kau tanya mereka, seperti apa bantuannya?”
Marudut: “Oke, nanti saya bicarakan dengan mereka, bang. Lalu nantinya bagaimana bang, ini kan penyidikan. Apa bisa dihentikan? Atau diturunkan jadi penyelidikan saja?”
Tomo: “Ya, nanti kalau bisa dibantu, ya kita hentikan saja penyidikannya.”
Berdasarkan percakapan itu, Hakim menyebut Marudut mempunyai pemahaman bahwa Tomo meminta uang operasional untuk menghentikan penyidikan perkara yang melibatkan Sudi. Hal tersebut kemudian disampaikan kepada Dandung.
Total uang yang disediakan Dandung dan Sudi adalah sekitar USD186.035, namun Dandung menyisihkan USD37.200 dolar AS (setara Rp500 juta) diantaranya untuk membiayai makan dan golf dengan Sudung.
Sebagai realisasi pemberian, Dandung kemudian menyerahkan uang sisanya yakni USD148,835 atau sekitar Rp2 miliar kepada Marudut pada 31 Maret 2016, guna diberikan kepada Sudung dan Tomo.
Dandung disebut sempat menghubungi Sudung, memastikannya ada di kantor. Namun karena tidak dijawab, Marudut lantas menghubungi Tomo dan menyampaikan akan menghadap.
Sudung pun disebut sempat membalas pesan Blackberry Messenger (BBM) Marudut dengan kata 'yes'. Pada perjalanan menuju kantor kejati guna menyerahkan uang, Marudut ditangkap KPK.
Kendati uang belum tersampaikan, namun Hakim menilai penyuapan sudah terjadi. Tertangkapnya Marudut, dinilai Hakim tidak menghapuskan fakta bahwa Marudut berniat menyerahkan uang kepada Sudung dan Tomo agar menghentikan penyelidikan kasus penyimpangan keuangan PT Brantas.
"Menurut majelis perbuatan terdakwa (Marudut) yang tidak memberikan kepada Tomo Sitepu dan Sudung Situmorang sudah dalam wilayah yang dipandang untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu," kata hakim saat dipersidangan.
Terkait keterangan mengenai kesepakatan dengan Tomo, Marudut sempat mencabutnya. Namun pencabutan keterangan itu dikesampingkan hakim lantaran dinilai tak sesuai dengan kebenaran.
Meski begitu, musyawarah hakim tidak berakhir bulat. Sebab, dua hakim anggota berbeda pendapat dengan menyebut bahwa terdakwa terbukti melakukan percobaan penyuapan, bukan penyuapan. Kedua hakim anggota itu adalah Casmaya dan Eddy Soepriyanto.
(ren)