Dana Reboisasi Minim, Jambi Merugi Rp100 Miliar/Tahun
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id – Provinsi Jambi diperkirakan merugi Rp100 miliar per tahun akibat tidak tersentuh maksimalnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari sektor kehutanan.
Kerugian itu merujuk dari minimnya dana bagi hasil sektor kehutanan di Provinsi Jambi. Di mana saat ini tercatat dana bagi hasil untuk Jambi hanya sebesar 2,4 persen dengan rata-rata Rp30,3 miliar per tahun.
"Kontribusi dana bagi hasil kehutanan (untuk Jambi) terbilang kecil jika dibandingkan yang disumbangkan dari gas bumi, minyak bumi, dan pertambangan umum dengan rata-rata Rp318 miliar per tahun," kata Jefri Nurrahman, perwakilan Perkumpulan Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera (Walestra) Jambi memaparkan hasil riset lembaganya, Rabu, 31 Agustus 2016.
Dalam sistem fiskal kehutanan Indonesia, negara memang mewajibkan perusahaan kehutanan komersial untuk membayar berbagai jenis royalti, retribusi, dan biaya. Hal itu kemudian termaktub dalam pembayaran Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan.
Dua pungutan yang dibebankan kepada perusahaan itu, kata Jefri, selanjutnya akan dibagihasilkan oleh pemerintah pusat kepada provinsi, kabupaten penghasil dan kabupaten bukan penghasil yang masih dalam satu provinsi.
Selanjutnya itu akan digunakan daerah untuk memanfaatkannya baik untuk pembangunan, pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya. Namun demikian, dengan ditunjukkannya jumlah dana bagi hasil di Jambi yang hanya Rp30,3 miliar, maka besar kemungkinan banyak potensi yang tidak tergarap maksimal oleh daerah.
Jefri pun kemudian membandingkan dengan total dana reboisasi yang diterima di Jambi. Selama ini daerah ini hanya menerima Rp13 miliar per tahun. Padahal, dari penghitungan yang dilakukan oleh Walestra dibanding dengan jumlah perusahaan yang ada di Jambi, maka seharusnya daerah ini bisa menerima dana reboisasi setidaknya Rp181 miliar per tahun.
"Potensi kerugian uang negara yang berasal dari sektor kehutanan akan terjadi dari berbagai modus yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah. Kesimpangsiuran data juga berpotensi memicu terjadi kerugian negara," kata Jefri.