MK Diminta Objektif Tangani Gugatan UU Tax Amnesty

Sidang di Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta, Mahkamah Konstitusi bersikap objektif dalam memutus uji materi terkait Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

"Kenapa harus objektif? Ketika tax amnesti disahkan seketika itu juga, Ketua MK (Arief Hidayat) datang ke Istana seolah-olah pemerintah takut ini dijudicial review," kata Manajer Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 31 Agustus 2016.

Menurut dia, perkara uji materi UU Pengampunan Pajak seharusnya menjadi momentum bagi MK untuk memulihkan citranya di hadapan publik.

"Kita melihat kredibilitas MK di mata publik itu menurun dalam memutus beberapa kasus. Ini sekaligus peringatan bagi MK harus berpihak kepada publik bukan berpihak kepada penguasa. Ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional," ungkapnya.

Apung menambahkan, MK harus melihat secara mendalam bahwa secara filosofi dasar pembentukan kebijakan pengampunan pajak itu cacat konstitusional. Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir dalam pasal 23 A.

Hal itu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan APBN dan pemungutan pajak. Di mana pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa bukan mengampuni.

"Saat dibentuk RUU itu bertentangan dengan UU Keuangan Negara Nomor 17/2003 pasal keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan," katanya.

Sebelumnya, Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah memutuskan untuk mengajukan uji materi UU Tax Amnesty (pengampunan pajak) yang belum lama disahkan oleh DPR. Muhammadiyah akan mendaftarkan gugatan ini ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, fakta hukum dari kebijakan UU Tax Amnesty harus jelas, begitu pula arah hukum juga harus jelas. Kejelasan dalam UU itu harus bisa merumuskan niai-nilai dalam UUD 1945, pasal 33, pasal 1, yaitu pasal-pasal yang erat dengan demokrasi dan HAM.

"Perumusan UU itu juga harus memenuhi prosedur demokrasi dan faktanya UU Tax Amnesty itu belum memadai demokrasi masih minimalis. Sudah saat dievaluasi dan melalui judicial review, kecuali pemerintah menunda," kata Busryo, usai penutupan Rakernas MHH PP Muhammadiyah, Minggu 28 Agustus 2016.

Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ini mengatakan, UU Tax Amnesty tidak memiliki sasaran jelas. Akibatnya, masyarakat umum juga terkena sasaran tersebut, sehingga menjadi resah. "Sasarannya harus dievaluasi juga, jangan sampai justru masyarakat kecil terkena dampaknya. Tax amnesti ini sebenarnya ditujukan untuk orang yang mengalami problem dalam kewajiban pajak. Dan, orang ini hanya beberapa gelintir saja. Uangnya pun diparkir di luar negeri. Namun, dalam kenyataannya semua masyarakat terkena imbasnya dan ini membuat gaduh," kata dia.

Selain itu, UU Tax Amnesty naskah akademiknya tidak pernah dikemukakan secara langsung ke publik, terutama kalangan akademis.  Masyarakat tidak bisa mengkritisi naskah tersebut. "UU itu bentuknya dari atas ke bawah, kebijakan negara nalar hukumnya ditaruh di bawah kepentingan politik. Ini merusak sistem negara hukum," ujarnya.

(mus)