Polemik Kewarganegaraan dan Bonus Hari Tua Atlet Bulutangkis
- badmintonindonesia.org
VIVA.co.id – Polemik mengenai status dwi kewarganegaraan, belakangan ramai diperbincangkan setelah mencuat masalah paspor ganda Arcandra Tahar dan Gloria Natapradja Hamel. Namun jauh sebelum itu, rupanya juga sempat mewarnai dunia olahraga tanah air.
Cabang bulutangkis yang notabene menjadi andalan Indonesia dalam berbagai perhelatan, ternyata juga tak lepas dari masalah status kewarganegaraan.
Berlimpahnya bakat potensial dari atlet bulutangkis di Indonesia, rupanya juga membuka peluang mereka untuk memilih peruntungan di luar negeri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, terutama buat atlet yang gagal bersaing masuk skuat pemusatan pelatihan nasional di bawah Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia.
Banyak nama pemain muda berbakat akhirnya memilih pindah dan membela negara lain untuk meniti karir sebagai atlet bulutangkis. Mereka adalah Hendri Kurniawan, Wandry Kurniawan, Hendra Wijaya dan Shinta Mulia Sari. Keempatnya merupakan kakak beradik anak pasangan Sugeng Subagio dan Sri Sariyani. Mereka memutuskan hijrah ke Singapura dan menjadi tim bulutangkis nasional di sana.
Hendri dan Wandry merupakan kembar yang lahir di Semarang 12 Mei 1981. Mereka memilih ke Singapura untuk mencari kesejahteraan lebih baik.
Langkah mereka diikuti kedua adiknya, yaitu Hendra dan Sinta Mulya Sari. Setelah menggeluti bulutangkis di Singapura, Wandry pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk membela tanah airnya.
Selain mereka, di Singapura juga ada Danny Bawa Chrisnanta. Pria kelahiran Salatiga ini, mulai membela Singapura pada 2013 lalu, dan berhasil mendapatkan sejumlah gelar.
Sebelum Danny, ada nama Taufik Hidayat Akbar. Dia pindah ke Milan untuk menyatakan sumpah setia pada Italia, dan meninggalkan Indonesia pada Agustus 2009.
Nama Halim Haryanto pun juga sempat mengemuka dengan keputusannya meninggalkan pelatnas PBSI dan memilih bergabung dengan tim nasional Amerika Serikat pada tahun 2004 sebagai pelatih serta berganti kewarganegaraan. Sebelumnya, saat membela panji Merah Putih, Halim sempat menjuarai All England dan Kejuaraan Dunia pada tahun 2001 bersama Tony Gunawan.
Tony pun akhirnya memilih mengikuti jejak Halim dengan pindah ke Amerika Serikat.
Namun, setelah dikeluarkannya program jaminan hari tua atau uang pensiun dari Kementerian Pemuda dan Olahraga bagi semua atlet dan mantan atlet berprestasi di ajang Olimpiade. Status mereka pun menuai masalah baru.
Dalam program dana pensiun itu, peraih medali emas akan mendapatkan Rp20 juta per bulan, perak Rp15 juta per bulan, dan perunggu Rp10 juta per bulan. Dana ini sudah berjalan secara simbolis awal Juni lalu.
Sebagai mantan atlet, meski kini tidak berstatus sebagai warga negara Indonesia, sebagian dari mereka pernah mengukir sejarah dan mengharumkan nama bangsa. Setidaknya ada 3 nama peraih medali dari cabang bulutangkis, yang kini sudah menjadi warga asing.
Mereka antara lain Ardy B. Wiranata, peraih medali perak tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992, Mia Audina peraih medali perak tunggal putri Olimpiade Atlanta 1996, dan Tony Gunawan, peraih medali emas ganda putra Olimpiade Sydney 2000.
Kontroversi ini semakin tegas, tatkala Mia Audina pada 2 Agustus 2016 lalu sengaja menemui Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, untuk menanyakan mengenai penghargaan jaminan hari tua itu. Mia berharap kebijakan itu juga berlaku buatnya, meskipun statusnya sudah bukan lagi sebagai WNI, setelah dia menjadi warga negara Belanda sejak 1999.
“Saya harapkan kebijakan dari Pak Menteri untuk bisa memberikan penghargaan dan tunjangan itu pada saya,” ujar Mia.
Pebulutangkis Olimpian Indonesia lainnya, Candra Wijaya, coba menjelaskan masalah ini. "Sepengetahuan saya WNA sudah tidak bisa, keputusannya sudah jelas," tutur pasangan Tony Gunawan dalam merebut emas Olimpiade Sydney.
"Tony sudah tahu hal tersebut, dan rasanya dia tidak mempermasalahkannya karena memang dia sudah tidak seorang WNI. Dan setahu saya, Ardy (Wiranata) sedang dalam proses untuk pindah (kewarganegaraan menjadi Amerika Serikat)," jelas Candra yang dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 16 Agustus 2016.
Hal senada juga dilontarkan legenda bulutangkis lainnya, Alan Budikusuma. Menurut Alan, situasi ini harus menjadi pelajaran bagi setiap atlet, agar bisa memiliki komitmen kuat, bahwa rasa kecintaan kepada tanah air mutlak menjadi karakter bagi olahragawan.
"Nantinya ini akan jadi pembelajaran, bahwa setiap atlet harus memikirkan konsekuensinya sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan," jelas peraih medali emas tunggal putra di Olimpiade Barcelona 1992.
Alan juga menceritakan tentang adanya tawaran berpindah menjadi warga negara lain, buat dirinya dan sang istri, Susy Susanti, pasca mereka meraih emas olimpiade.
"Saya dan Susy beberapa tahun silam bahkan pernah ditawari oleh salah satu negara Eropa dengan iming-iming yang menggiurkan. Semua biaya hidup akan di tanggung mereka seumur hidup, saya hanya ditugaskan untuk melatih. Namun saya tidak mau dan menolak tawaran tersebut," tegas Alan.
"Ada juga yang memang mereka menetap di luar negeri tapi tak sampai merubah kewarganegaraannya. Seperti Hendrawan (kini menjadi pelatih tunggal putra di Malaysia), atau adik saya, Yohan Hadikusuma, yang sampai saat ini melatih di Hong Kong," kata Alan.