Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?
- ANTARA FOTO/FB Anggoro
VIVA.co.id - Fenomena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terus berulang. Praktik bakar lalu tanam dengan sawit bak menjadi-jadi. Sistematis dan terkadang dilakukan dengan terbuka.
Tahun 2015, tercatat menjadi masa suram dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Total kerugian negara menembus Rp221 triliun dan seluas 2,6 juta hektare lahan hutan hilang terpanggang.
Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan itu, harus diakui mengejutkan. Maklum jumlahnya hampir tiga kali lipat dari anggaran kesehatan pemerintah Indonesia pada APBN tahun 2015.
Dan bayangkan saja, luasan hutan yang terbakar tersebut, nyaris lima kalinya luas Pulau Bali. "Biaya untuk membangun kembali Aceh pada 2004 saja hanya mencapai US$7 miliar. (Karena itu) dampak ekonomi dari kebakaran hutan ini memang sangat besar," kata Direktur Bank Dunia di Indonesia Rodrigo Chaves dikutip dari The Guardian, Rabu, 16 Desember 2015.
Baca Juga:
Melawan Kutukan Jerebu
5 Fakta di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia
Menteri Siti Kesal Singapura Tak Hargai Indonesia Soal Asap
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bukan barang baru. Hampir 20 tahun sudah Indonesia selalu berkutat dengan masalah ini. Dan uniknya, lokasinya selalu sama dan model praktik pembakarannya juga serupa.
Dahulu, pada tahun 1980-an, praktik pembakaran hutan dan lahan di Indonesia memang mendapat angin segar. Sejumlah perusahaan perkebunan besar pun 'berebutan' memanfaatkan peluang ini. Alhasil, praktik bakar hutan dan kemudian ditanami komoditas perkebunan pun menjadi hal yang mahfum.
FOTO: Ilustrasi/Petugas pemadam kebakaran hutan dan lahan
Bahkan tak jarang, perusahaan besar kerap memanfaatkan jasa masyarakat kecil dengan memberi bayaran tertentu untuk membakar lahan lalu lahannya dibeli atau hanya sebatas upahan saja.
Riset yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), membakar lahan dan hutan memang cara yang paling efisien bagi sebuah perusahaan untuk mempercepat produktivitas.
Hitungan biaya, pembukaan lahan dengan tanpa membakar lahan, setidaknya perusahaan harus merogoh kocek hingga Rp3,4 juta per hektare. Sementara jika menggunakan pembakaran lahan, biaya ditanggung cuma Rp600 ribu, tertinggi Rp800 ribu per hektare.
"Upahannya juga hanya cukup uang Rp500 ribu sampai Rp700 ribu dengan rata-rata seluas 10 hektare," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho tahun lalu.
Presiden Joko Widodo, sejauh ini tetap berkomitmen agar kebakaran hutan dan lahan di Indonesia jangan sampai terulang. Ia memastikan akan memberikan sanksi tegas bagi daerah yang masih terjadi kebakaran hutan.
Sanksi berupa hukuman dan penghargaan pun akan diberlakukan untuk tahun 2016. "Yang terbakar semakin banyak semakin gede ganti copot, janjian saya dengan Panglima TNI dan Kapolri itu," kata Jokowi Januari silam.
FOTO: Petugas pemadam kebakaran hutan dan lahan
Selain itu, pemerintah juga telah membentuk badan khusus untuk penanganan kebakaran lahan gambut yang selama ini menjadi pemicu utama kabut asap. Lembaga ini dinamai Badan Restorasi Gambut (BRG) dan akan diberi tugas hingga Desember 2020.
Jokowi juga memastikan, pemerintah tidak akan memperkenankan lagi terbitnya izin baru di atas lahan gambut. "Tidak boleh lagi ada izin baru di area gambut," kata Jokowi.
Lalu bagaimana realisasi tahun ini? Seperti perkiraan, kebakaran hutan dan lahan berulang lagi. Praktik bakar lalu tanam dengan sawit terbukti terjadi lagi. Siapa yang menyulut api, hingga kini bak misteri.