Ahok Dipandang Punya Kekuatan Hukum Soal Proyek Reklamasi

Proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id - Pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menghadirkan ahli pakar hukum tata negara, I Gede Panca Astawa, untuk memberi keterangan dalam sidang perkara kasus suap pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai utara Jakarta.

Selama bersaksi, Gede Panca menyatakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama atau sering disapa Ahok, mempunyai kekuatan hukum untuk melanjutkan pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta. Hal tersebut mengacu pada Pasal 4, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.

"Itu artinya memberikan kewenangan kepada gubernur DKI Jakarta. Mau diapakan saja, itu wewenang penuh ada pada gubernur," kata Gede Panca di Gedung Tipikor, Jakarta, Rabu 3 Agustus 2016.

Atas dasar Kepres tersebut, Gede Panca menyebut Ahok tetap bisa melanjutkan reklamasi kawasan Pantai Utara Jakarta. "Sepanjang berkaitan dengan tata ruang tetap berlaku (Keppres 52 tahun 1995). Itu logika hukumnya," paparnya.

Gede Panca menjelaskan Apalagi Keppres 52 tahun 1995 merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden nomor 17 tahun 1994 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VI). "Didalamnya dibahas tentang kawasan strategis Pantai Utara Jakarta. Jadi dasar hukumnya dari Repelita VI," ungkapnya.

Selain itu, Gede Panca mengaku heran dengan keputusan mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli yang mengeluarkan moratorium terhadap proyek pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta. "Atas dasar apa menteri menghentikan reklamasi? Hanya Gubernur yang berhak menghentikan," tegasnya.

Sebelumnya,Ahok telah menerbitkan Keputusan Gubernur No.2238/2014, tanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada  PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land (APL). Izin dikeluarkan karena PT APL telah membangun 13 proyek yang merupakan bagian komitmen terhadap kontribusi tambahan sebesar 15 persen yang tercantum dalam ijin pelaksanaan reklamasi tersebut.

KPK kemudian mengungkap adanya praktik suap dalam pembahasan Raperda mengenai Reklamasi di DPRD DKI Jakarta. Kasus tersebut berbuntut panjang. Hingga pada akhirnya Pemerintah pusat memutuskan melakukan moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

(ren)