Kasus Tanjungbalai, Aparat Diminta Tak Cuma Salahkan Warga

Polisi periksa vihara yang dirusak massa di Tanjungbalai
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Anton
VIVA.co.id - Indonesia Police Watch meminta elit pemerintah maupun Polri agar tidak hanya menyalahkan masyarakat dalam menyikapi konflik sosial yang terjadi belakangan ini. Mereka juga diharapkan mengevaluasi kinerja, sikap, dan perilaku aparatur di lapangan, yang cenderung tidak profesional, asyik pada zona nyaman pribadi, dan cenderung menjadi 'raja kecil'.

"IPW menilai, pasca konflik SARA di Tanjungbalai Asahan, elit pemerintah dan Polri cenderung menyalahkan masyarakat, yang menurut mereka terlalu gampang diprovokasi. Tidak ada satu elit pun yang menyalahkan kinerja, sikap, dan perilaku aparatur, yang membiarkan potensi konflik dan lamban bertindak," kata Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane, dalam keterangannya kepada VIVA.co.id, Selasa, 2 Agustus 2016.

Menurutnya, sikap elit yang hanya menyalahkan masyarakat tidak akan mampu menyelesaikan bibit konflik. Padahal di lapangan, seperti di Sumatera Utara, aparatur cenderung membiarkan tumbuh suburnya aksi perjudian ilegal, pelacuran, tindakan melindungi atau 'backing', sehingga menyuburkan kebencian masyarakat pada etnis tertentu.

Dari data IPW, kata Neta, di Sumatera bagian utara pada Juli 2016 tergolong rawan konflik sosial. Setidaknya ada empat konflik sosial yang terjadi, yakni di Sijunjung, Sumatera Barat, pada 26 Juli 2016, Tanjungbalai dan Tanah Karo, Sumatera Utara, pada 29 Juli 2016, dan Aceh Pidi pada 30 Juli 2016, dimana warga mengamuk saat aksi protes pembangunan pabrik semen.

Bahkan dari Januari hingga Juli 2016, di Sumbar ada tujuh konflik sosial, yakni di Padang (isu Ahmadiyah), Pesisir Selatan (isu sengketa batas wilayah), Solok Selatan (isu tenaga kerja asing), Agam (konflik warga vs PT Mutiara Agam), Pasaman Barat (konflik lahan perkebunan sawit dengan warga), Padangpariaman (konflik warga dengan pengusaha galian C, dan Sijunjung (konflik tapal batas).

Neta juga menilai, konflik yang terjadi di Indonesia umumnya terjadi karena akumulasi dari rasa ketidakadilan, dan sikap diskriminasi aparatur terhadap pihak tertentu. Selain itu, akibat ketidakadilan politik, sosial, ekonomi, dan program pembangunan yang tidak seimbang.

"Elit pemerintah, terutama Polri perlu mencermati fenomena ini, sehingga tidak cenderung menyalahkan masyarakat, Polri justru diharapkan mengevaluasi kinerja para pimpinannya di daerah, serta mengevaluasi sikap dan perilaku aparaturnya," ucap Neta.

Sebab itu, pola rekrut, assesment, dan penempatan figur pimpinan Polri di daerah, seperti untuk Kapolres dan Kapolda, perlu ditata ulang agar mereka mau lebih peduli, peka, responsif, tidak diskrminatif, dan menghindari aksi 'backing', berada di zona nyaman, dan menjadi 'raja kecil'.

"Dengan demikian potensi konflik bisa cepat diatasi hingga tidak terbiarkan menjadi amuk massa," kata dia.

(ren)