Kapal ke Filipina Akan Dikawal Personel Bersenjata
- VIVA.co.id/Filzah Adini Lubis
VIVA.co.id – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji pilihan pengawalan kapal batu bara yang akan berlayar ke Filipina dengan personel bersenjata atau sea marshall.
Mereka tengah mempelajari format pengawalan tersebut agar tidak melanggar aturan yang telah disepakati oleh International Maritime Organization (IMO) atau peraturan organisasi kemaritiman internasional.
"Sedang dipelajari dengan cermat supaya tidak melanggar peraturan perundang-undangan (IMO). Tapi yang jelas kapal yang membawa batu bara kecil ke Filipina akan dikawal oleh personel bersenjata," kata Luhut di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta Pusat, Jumat, 15 Juli 2016.
Hanya saja, kata Luhut, pengawalan tersebut tidak dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi bisa saja pihak swasta. Saat ini format pengawalan tersebut masih dicari dan dikaji. "Saya tak bilang TNI. Kita lagi cari formatnya," tegas mantan Kepala Staf Kepresidenan tersebut.
Penerapan sea marshall tersebut juga, kata Luhut, bukan berarti membekali para pelaut Indonesia dengan kemampuan dasar kemiliteran ataupun memberikan izin untuk membawa senjata api.
Peraturan yang mengatur persenjataan awak kapal sebenarnya sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Pertahanan nomor 7 tahun 2010 terkait pengawasan dan pengendalian senjata api.
Di dalamnya disebutkan, kapal laut Indonesia baik milik swasta maupun pemerintah dapat dipersenjatai. Awak kapal yang dipersenjatai dibatasi sampai seperempat jumlah atau sepuluh orang.
Sementara itu, dalam peraturan IMO, keberadaan personel keamanan bersenjata (PKB) sudah mulai dikenal di kapal dagang sejak Perang Dunia II.
Senada, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi mengungkapkan dua opsi agar kasus penyanderaan kapal pengangkut batu bara tidak terjadi lagi.
Pertama, penggunaan personel bersenjata atau sea marshall yang akan melakukan pengawalan di atas kapal batu bara selama berlayar. Sebagaimana peraturan International Maritime Organization (IMO) atau organisasi kemaritiman internasional.
Kedua, sea corridor atau penetapan jalur aman untuk berlayar oleh kedua belah pemerintah yakni, Indonesia dan Filipina.
"Untuk pengamanan, kami menjajaki semua opsi yang dapat menjamin kasus penyanderaan tidak terjadi dan ekspor dapat dilakukan dengan aman, apakah dengan sea marshall dan sea corridor," ujar Retno.
Penempatan personel bersenjata, kata Retno, diprioritaskan untuk kapal pengangkut batu bara berukuran kecil atau kapal tunda atau kapal kecil. Sebab, kapal tunda dinilai lebih potensial mengalami pembajakan dibanding kapal pengangkut batu bara berukuran besar.
"Jika dilihat, kapal yang digunakan untuk mengekspor batu bara, 15 persennya adalah kapal tunda. Sementara 85 persen menggunakan kapal besar yang potensi penyanderaannya lebih kecil," ungkap dia.
Hanya saja, untuk pilihan sea corridor masih harus menunggu perkembangan dari pertemuan yang akan dilakukan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dengan Menhan Malaysia dan Filipina, yang akan membahas soal patroli bersama oleh ketiga negara di jalur-jalur pelayaran yang sudah ditentukan.
Diketahui, pada 12 - 14 Juli 2016 kemarin, delegasi TNI yang dipimpin oleh Asisten Operasi Panglima TNI dan Delegasi Filipina yang dipimpin oleh Asisten Operasi Angkatan Bersenjata Filipina, bertemu di Hotel Parklane Jakarta.
Pertemuan tersebut untuk menindaklanjuti pertemuan antara Menteri Pertahanan Indonesia dan Filipina sebelumnya pada 27 Juni 2016 lalu. Tujuannya, mencegah terjadinya kembali insiden perompakan bersenjata di laut dan penculikan di wilayah maritim yang menjadi perhatian kedua negara.
Kedua delegasi sepakat akan segera melaksanakan tindakan proaktif dan preventif di wilayah perairan yang menjadi perhatian bersama yang sejalan dengan RP-RI Border Patrol Agreement tahun 1975 dan relevan dengan Konvensi Maritim Internasional.
Beberapa tindakan yang disepakati adalah akan mengikutsertakan Western Mindanao Command Angkatan Bersenjata Filipina dan Komandan Lantamal XIII/Tarakan ke dalam kegiatan Komite perbatasan RI-RPBC.
Selain itu, melaksanakan patroli maritim atau passing exercise bersama antara kapal perang dari kedua Angkatan Laut, mengembangkan protokol untuk melalui koridor yang diamankan dan membahas mengenai penugasan personel keamanan bersenjata di atas kapal niaga masing-masing negara. (ase)