Penggagas Konsep Gugus Pulau Tutup Usia
- VIVA.co.id/Angkotasan (Ambon)
VIVA.co.id – Mantan Gubernur Maluku Periode 1997-2002 M. Saleh Latuconsina tutup usia di Jakarta, Jumat, 15 Juli 2016.
Dari kabar yang dihimpun, Saleh meninggal di kediaman pribadinya, Kemang, Jakarta Selatan sekitar pukul 10.30 WIB. Saleh meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.
Sebelum menjadi Gubernur Maluku, jebolan arsitek dari salah satu Universitas Ternama di Prancis itu mengawali kariernya di Dinas Pekerjaan Umum sebagai pegawai biasa. Selanjutnya, dia diangkat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Maluku.
Pada posisi ini, Saleh kemudian menggagas konsep Gugus Pulau. Sebuah program pembangunan untuk menghubungkan pulau-pulau di Maluku dengan cara membangun infrastuktur jembatan melalui kapal laut.
Setiap gugus pulau harus dihubungkan secara interkoneksi oleh kapal-kapal laut, termasuk kapal feri, sehingga setiap pulau di Maluku bisa disatukan dengan membangun sentra-sentra perekonomian. Maka terjadi mobilitas, baik arus barang maupun manusia.
Pemikirannya, orang di Aru atau Kisar tak perlu lagi menjual hasil bumi ke luar daerah, tapi mereka bisa menjual ke Tual atau Saumlaki. Begitu seterusnya, dari Saumlaki bisa menjual hasil buminya ke Ambon tak perlu lagi ke Surabaya.
Orang di Geser cukup membawa hasil bumi ke Bula atau ke Masohi di Pulau Seram tak perlu ke Makassar. Begitu pun orang di Namrole, Namlea, Morotai, Halmahera, Bacan, dan Sanana.
Tak mau lihat Maluku hancur
Menurut pengakuan salah satu wartawan senior di Maluku, Ahmad Ibrahim, gagasan besar Almarhum itu belum sempat terwujud karena keburu tersapuh oleh konflik bernuansa SARA.
Ahmad juga mengenang suasana yang penuh kekacauan itu, di mana almarhum tetap tenang mendatangi warga Maluku yang menjadi korban kerusuhan. Tanpa mengenal lelah dia mendatangi semua tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan tokoh pemuda. Mencoba menenangkan hati warganya dalam suasana yang serba penuh ketidakpastian itu.
Bahkan di saat banyak orang, termasuk pejabat dan orang dekatnya memilih mengungsi ke luar Maluku, Saleh dan istri tercinta, Aisyah Latuconsina memilih bertahan di Rumah Dinas Gubernur Maluku di Kawasan Mangga Dua.
Di tengah kerisauan itu, di luar sana desingan peluru menghujam rumah penduduk, tanpa kecuali rumah dinasnya juga ditembaki. Menurut Ahmad, di rumah dinasnya yang telah dipenuhi oleh para pengungsi yang berbeda keyakinan itu meminta perlindungan Saleh.
Sang istri sempat merasa tegang dan meminta Saleh untuk memilih menyingkir dari rumah dinas di Mangga Dua itu akibat desingan peluru yang terus diarahkan ke rumah dinasnya tersebut.
"Ica (sang istri almarhum Aisyah Latuconsina), peluru itu punya mata. Kalau malam ini Tuhan menghendaki kita berdua harus mati di rumah jabatan ini, ya itu sudah kehendak-Nya. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab, kita tidak boleh keluar dari rumah dinas. Bagaimana pun saya adalah Gubernur, saya harus bertanggung jawab," kutip Ahmad yang waktu itu menjadi pimpinan redaksi salah satu media milik Jawa Pos Grup.
Itulah Pak Saleh Latuconsina. Penampilannya yang kalem namun memiliki kekuatan batin yang cukup kuat. Sebagai seorang sipil, Saleh Latuconsina tetap pada keyakinan tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang gubernur.
Di tengah kondisi segenting apa pun dia tak pernah mengeluh dan terus berkoordinasi dengan semua pihak untuk mencari solusi penyelesaian konflik. Bahkan sampai detik-detik terakhir Kantor Gubernur Maluku dibakar pun dia tetap memilih berkantor di ruang kerjanya.
Kutipannya yang populer, "Kita sebagai pemimpin di Maluku tidak mau melihat daerah ini hancur. Jangan sampai kita menjadi korban permainan para elite."
Selamat jalan Pak Leh, semoga amal baktimu untuk Maluku mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. (ase)