Negara Diminta Tak Ragu Keluarkan Uang untuk Kawal Pelaut

Kapal Tugboat Charles 001 dikawal KRI Sidat.
Sumber :
  • Iqbal Abdullah - Balikpapan

VIVA.co.id – Pengamanan pada jalur pelayaran di daerah perbatasan penting dilakukan untuk memberi rasa aman kepada perusahaan pelayaran dan masyarakat. Penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf Filipina belakangan ini sangat membuat resah.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, meminta agar ada kejelasan jalur pelayaran terutama di perbatasan. Sehingga dengan begitu setiap pelayaran di wilayah tersebut bisa mendapatkan pengawalan dari tentara, baik dari TNI maupun dari tentara tetangga.

"Harus bikin koridor yang dikawal oleh TNI AL, setiap barang yang dibawa terjamin keamanannya. Setelah itu dikawal lagi oleh AL Filipina, atau perairan lain sebelah baratnya Malaysia," kata TB di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 27 Juni 2016.

Karena para pelaut ini bukanlah turis, maka warning yang dikeluarkan bukan travel warning melainkan walking warning. Kementerian Perhubungan juga diminta lebih peduli untuk membuat zona-zona rawan. Karena saat ini, tidak ada jalur pelayaran jelas dan semua tergantung nahkoda kapal.

"Membentuk zona rawan itu harus dikoordinasikan pihak TNI AL, supaya bisa di-protect. Dilakukan patroli selama ada ancaman, dan terakhir ABK harus melaporkan srtiap posisinya. Agar selalu dikawal," ujar TB.

Karena harus selalu dikawal, maka negara diminta tidak sungkan menyediakan anggaran untuk pengawalan. Menurutnya lebih baik uang itu dipakai untuk mengawal atau mencegah ketimbang diberikan untuk membayar tebusan jika ada penyanderaan lagi.

"Untuk keselamatan dan keamanan rakyat kita dukung lah," katanya.

Seperti diketahui, kelompok milisi Abu Sayyaf kembali berulah dan menyandera tujuh BK Kapal TB Charles dari Samarinda di perairan Filipina. Ini adalah peristiwa ketiga kalinya selama 2016. Keluarga ABK berharap pemerintah bisa mengupayakan yang terbaik untuk menyelamatkan para sandera.

Menurut keterangan keluarga sandera, kelompok Abu Sayyaf menuntut tebusan Rp20 juta ringgit atau sekitar Rp59 miliar untuk pembebasan tujuh WNI ini.  Hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai kondisi tujuh WNI yang baru saja ditawan.

Berdasarkan informasi dari enam sandera yang dibebaskan, tujuh rekan mereka yang ditahan dipecah menjadi dua kolompok. Kelompok pertama membawa, Ferry Arifin (nahkoda), Mohamad Mabrur (KKM) dan Eddy (masinis 2). Sementara kelompok kedua membawa Ismail (chief officer), Mohamad Nasir (masinis 3), Robin Piters (juru mudi) Mohamad Sofyan (oliman).