Mendagri: Kami Tidak Hapus Perda Syariat Islam

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Sumber :
  • Moh. Nadlir/ VIVA.co.id

VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan tidak ada peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam yang masuk dalam deregulasi 3.143 perda. Menurutnya, ribuan perda yang dihapus hanya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan, serta soal diskriminatif.

"Siapa yang hapus. Tidak ada yang hapus. Ini semua soal investasi. Kami tidak urus perda yang bernuansa syariat Islam," kata Tjahjo di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara 7, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Juni 2016.

Tjahjo mengatakan, bila harus melakukan revisi perda-perda yang dinilai intoleran atau diskriminatif yang potensial menimbulkan pro-kontra masyarakat, Kemendagri pasti mengundang organisasi masyarakat untuk menyelaraskan regulasi tersebut.

"Selama ini pemerintah tentu mengikuti pertimbangan dan fatwa dari organisasi keagamaan seperti MUI. Makanya, dalam melakukan evaluasi dan pendalaman perda bermasalah yang bernuansa Islam tentu ada klarifikasi serta penyelarasan dengan tokoh agama," ujar Tjahjo.

Menteri asal PDI Perjuangan itu berjanji akan segera mempublikasikan ribuan perda yang sudah dibatalkan Kemendagri tersebut.

"Data kami, ada 2.227 perda provinsi yang dibatalkan Kemendagri. Lalu 306 perda yang secara mandiri dicabut Kemendagri, serta 610 perda yang dibatalkan kabupaten/kota dibatalkan provinsi," Tjahjo menjelaskan.

Masalah perda ini, kata Tjahjo, faktanya semakin diputarbalikkan. Tjahjo mengaku menerima ratusan pesan singkat ke telepon selularnya, yang memprotes pembatalan perda syariat Islam.

"Itu tudingan belaka, karena tidak ada niat mencabut perda itu. Perda ini memang menjadi kewenangan kepala daerah. Kami tak membatalkan perda tersebut, namun hanya menguatkan ketentuannya saja, apalagi terkait SOP Satpol PP,” ujar Tjahjo.

Menurut Tjahjo, tidak semua perda itu mendapat asistensi langsung dari pemerintah pusat dalam proses penyusunannya. Sebab, hanya ada enam jenis perda yang sebelum disahkan dan berlaku di daerah harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat, sebagaimana Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Enam peraturan itu terkait rancangan perda APBD, tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah (RPJMD dan RPJPD).

"Selain itu, peraturan kepala daerah lainnya juga tak pernah ada yang dilaporkan ke pusat. Jadi, ada sejumlah perda yang baru ketahuan bermasalah setelah ada kasus-kasus seperti ini,” ujar Tjahjo.