Ketua DPRD DKI Diperiksa Soal Sadapan KPK

Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, kembali dijadwalkan menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa 14 Juni 2016.

Politikus PDI-P itu kembali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Reklamasi di Teluk Jakarta. Dia tercatat sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan dalam kasus ini.

"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MSN (Mohamad Sanusi)," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati.

Prasetyo terlihat memenuhi panggilan penyidik dengan tiba di Gedung KPK sejak pukul 09.45 WIB. Prasetyo yang memakai kemeja berwarna putih itu menyebut pemeriksaannya kali ini merupakan lanjutan dari sebelumnya.

Menurut dia, masih ada yang kurang dari pemeriksaan sebelumnya sehingga dia kembali diperiksa. Prasetyo mengaku dikonfirmasi terkait sadapan yang dimiliki oleh penyidik.

"Ya nih melanjutkan yang kemarin, diperiksa untuk Sanusi, masalah sadapan," kata Prasetyo.

Kendati demikian, dia tidak menyebutkan sadapan siapa yang dimaksud, termasuk percakapan di dalamnya. Dia langsung masuk ke lobi ruang tunggu KPK.

Diketahui, kasus suap ini terungkap setelah KPK menangkap tangan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, dan anak buahnya yang bernama Trinanda Prihantoro serta Ketua Komisi D DPRD DKl Jakarta, Mohammad Sanusi.

Ariesman dan Trinanda disangka telah memberikan suap kepada Sanusi sebesar miliaran Rupiah. Diduga, uang tersebut terkait Raperda tentang Reklamasi yang tengah dibahas di DPRD DKl Jakarta.

Suap diduga diberikan terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035. Dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Dua Raperda tersebut diketahui memuat aturan-aturan terkait proyek reklamasi dan menuai polemik dalam pembahasannya hingga berkali-kali tertunda. Disinyalir pembahasannya mandek lantaran terkait dengan aturan soal nilai tambahan kontribusi yang harus diberikan pengembang ke pemerintah sebesar 15 persen.

Diduga hal tersebut yang menjadi alasan penyuapan dari bos Agung Podomoro kepada pihak DPRD DKI Jakarta. Namun diduga terdapat pihak DPRD lain yang turut menerima suap dari pengembang reklamasi lainnya.