IDI Tolak Jadi Eksekutor Kebiri, Jaksa Agung Tak Masalah
- VIVA.co.id/Irwandi Arsyad
VIVA.co.id – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekekutor hukuman kebiri dengan menggunakan zat kimia bagi pelaku kejahatan seksual. Sikap ini dianggal IDI lantaran hukuman kebiri dianggap tidak didasarkan pada kajian dan analisis ilmiah yang mendalam oleh pemerintah.
Jaksa Agung HM Prasetyo tidak mau berpolemik dengan putusan IDI. Menurutnya Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F.Moeloek, telah setuju dan memahami pentingnya hukuman tambahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Saya pikir enggak semua dokter mengelak dan saya rasa Menteri Kesehatan sudah setuju serta memahaminya betapa pentingnya hukuman tambahan harus dilakukan. Ini kan bicara soal IDI yang terkait profesi?" kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat 10 Juni 2016.
Prasetyo menuturkan, akan melakukan koordinasi dengan menteri kesehatan terkait masalah eksekutor kepada pelaku kejahatan seksual di Indonesia dengan memberi hukuman tambahan seperti keberi.
"Ya menteri kesehatan kan dokter tapi dalam konteks sebagai menteri, tentunya mendukung apa yang jadi keputusan pemerintah?" katanya.
Ia mengatakan, peraturan perundang-undangan soal kebiri dikeluarkan mengingat masalah kejahatan seksual masih cukup masif di Indonesia. Namun, dia enggan merinci kapan pelaksanaan Perpu Kebiri kejahatan seksual tersebut.
“Kita inginkan dengan adanya kebiri bisa berikan dampak deterrent (jera) dan orang lain yang akan lalukan begitu akan berpikir seribu kali. Dengan diumumkan dan ditandatangani Presiden kita bisa laksanakan itu," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, berupa hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara. Peraturan ini juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.