Pemerintah Belum Cukup Lindungi Warga dari Bahaya Rokok

Merokok di atas truk.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta/Files

VIVA.co.id – Pemerintah dikritik masih belum optimal melindungi warga negaranya dari bahaya rokok. Maka, perlu ada payung hukum yang kuat sekelas undang-undang untuk memastikan perlindungan bagi warga dari bahaya merokok, apalagi asap yang ditimbulkannya.

Demikian menurut Ketua Dewan Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad. "Seluruh dunia tahu bahaya rokok. Jadi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya dari bahan bahaya," kata Kartono dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 28 Mei 2016.

Menurut Kartono, memang pemerintah telah melakukan upaya untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Di antaranya rokok dikenakan cukai, pemerintah membuat aturan tentang pembatasan peredaran rokok, pembatasan iklan dan sponsorship, serta penggunaan peringatan gambar di bungkus rokok.

"Itu semua apa yang sudah dilakukan pemerintah selama ini. Tapi itu masih jauh dari cukup. Rokok terlalu murah harganya di Indonesia. Sehingga anak dan orang miskin bisa membeli rokok. Bahkan boleh dijual batangan dan dibiarkan beriklan dengan bebas. Jadi belum cukup (upaya pemerintah)," kata Kartono.

Ia menambahkan perokok menjadi pihak yang membayar cukai. Cukai merupakan pungutan khusus yang dikenakan pada barang-barang berbahaya yang dikonsumsi pemakainya. Karena itu, sebagai upaya lebih pemerintah ia menyarankan agar biaya cukai untuk rokok sebaiknya ditingkatkan.

Perlunya UU Pertembakauan

Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, menjelaskan pentingnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. Selama ini pemerintah dianggap belum cukup melindungi warganya dari bahaya rokok.

"Tenaga kerja yang terserap di manufaktur 6 juta orang, dari mulai pabrik sampai distribusi. Ini harus kita perhatikan. Lalu petani hampir ada 2 juta orang. Berarti ada 8 juta orang terkait ini," kata Supratman di kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan, ketika ada 8 juta orang yang hidupnya bergantung pada industri rokok dari hulu ke hilir, maka mereka memiliki keluarga. Kalau tiap orang dikalikan 3 anggota keluarga maka ada sekitar 24 juta orang atau 10 persen dari penduduk Indonesia yang bergantung pada industri ini.

"Jadi, 10 persen dari total penduduk kita. Kita ingin beri perlindungan pada petani tembakau. Bahwa ada soal kesehatan, iya. Saya sadar rokok pasti merugikan tapi faktanya saya merokok," kata Supratman.

Ia melanjutkan omset sektor tembakau di Indonesia juga ternyata cukup besar sekitar Rp250 triliun. Lalu pemasukan negara dari cukai sebesar Rp150 triliun. Selanjutnya soal penguasaan industri tembakau saat ini, China yang memimpin. Indonesia hanya produksi rokok kretek. Sementara rokok putih lebih banyak diproduksi asing.

"Karena produksi tembakau kita menurun, mau ngga mau kita harus impor. Impor ini yang harus kita kendalikan dalam RUU. Kita harap kita bisa ekspor. Bagaimana industri pertanian kita bisa kembali menguasai pertembakauan dunia," kata Supratman.

Meski begitu ia juga tak menafikan akibat dari tembakau, sebanyak 30 persen biaya BPJS yang dikeluarkan diduga digunakan untuk pasien yang penyakitnya timbul akibat rokok seperti penyakit jantung dan masalah pernapasan.

"Karena itu pentingnya regulasi. Kita perlu melihat secara menyeluruh. Kami di baleg sudah selesaikan tugas penyusunan. Kita masih harmonisasi. Kita meminta pada seluruh lapisan masyarakat, kita butuh masukan dari semua pihak yang konstruktif. Sehingga semua kepentingan bisa kita akomodir," kata Supratman.

(ren)