Suara Korban Teror Menggugat Pemerintah

Vivi Normasari, penyintas aksi terorisme saat memberikan paparan
Sumber :
  • Aryo Wicaksono/ VIVA.co.id

VIVA.co.id – Pemerintah selalu menegaskan adanya komitmen kuat dalam melawan kelompok teroris setiap kali sebuah serangan teror terjadi, dan menebar ancamannya ke masyarakat. Terakhir, dalam peristiwa serangan di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis lalu, 14 Januari 2016. Presiden mengutarakan kecamannya.

"Kita semuanya mengecam dan mengutuk teror yang mengganggu keamanan, ketenangan, dan menimbulkan keresahan masyarakat," begitulah tekad Presiden Joko Widodo menghadapi aksi teror yang terjadi di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016 lalu.

Tak hanya pada pelaku, Sekretaris Kabinet Pramono Anung memastikan, pengobatan korban ledakan bom di perempatan Sarinah itu juga ditanggung pemerintah. "Yang jelas bagi semua korban yang sekarang ini ada di rumah sakit, baik korban berat maupun ringan, sepenuhnya akan ditanggung oleh pemerintah," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, saat itu.

Korban luka pun dirawat pada berbagai tempat, yakni Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RSUD Tarakan, Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC). 

Namun, setelah komitmen itu disampaikan ke publik. Ternyata pihak rumah sakit tetap menagih biaya berobat, karena tak ada lembaga negara yang mau maju memberikan dana dan melunasi biaya penanganan medis para korban di rumah sakit.

"Seringkali teknis di lapangan bingung," ucap Sucipto Hari Wibowo, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), sebuah komunitas bagi korban bom terorisme di Indonesia,  di Hotel Ibis Budget, Rabu 25 Mei 2016.

Sucipto hadir di hotel ini sebagai peserta dalam pelatihan jurnalis bertema 'Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media'. Dia tak sendirian di acara ini, ada beberapa penyintas lainnya yang ikut serta mengikuti acara, yaitu Vivi Normasari, Wahyu Ninik, dan Nanda Olivia. Mereka semua korban dari aksi teroris.

Sucipto dan Vivi mengisahkan kembali pengalaman mereka saat ikut mendampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengumpulkan data jumlah korban serangan di kawasan MH Thamrin itu.
 
Persis setelah terjadinya serangan, YPI dan LPSK mendatangi berbagai rumah sakit sekitar yang disebut media merawat para korban. Tindakan ini dilakukan untuk mendata jumlah korban, agar mereka bisa memastikan korban mendapatkan semua bantuan yang diperlukan.

"RSPAD awalnya menolak, kami minta data enggak dikasih. Tapi beberapa hari kemudian hubungi kembali, minta tanggung jawab karena enggak ada yang mau bayar," kata Sucipto.

Sampai para korban pulang dari rumah sakit pun, masih saja belum ada kejelasan mengenai lembaga yang melunasi biaya perawatan korban.

Kasus spesifik adalah yang terjadi pada seorang mahasiswa bernama Dwi. Saat kejadian, Dwi terkena hempasan bom sehingga terpelanting dan kepalanya membentur jalanan. Dia langsung dibawa ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Ibu dan Anak YPK Mandiri. Semua memar dan luka di tubuhnya ditangani pihak rumah sakit dan diperbolehkan pulang, karena hanya mengalami luka ringan.

Setelah sampai rumah, dia muntah-muntah, dan kepalanya pusing. Akhirnya dia kembali ke rumah sakit terdekat dari indekosnya di daerah Grogol. Di rumah sakit, dia mengaku sebagai korban teroris tapi pihak rumah sakit meminta dokumen resmi yang menyatakan demikian. Tak mau repot, Dwi lantas membayar semua biaya perawatan hingga Rp10 juta. Hasil pemeriksaan CT Scan menunjukan adanya retakan di kepala bagian belakang.

Hasil diagnosa itu membuatnya tak cukup hanya sekali menjalani perawatan. Akhirnya YPI ikut membantu, menghubungi Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya dan meminta mereka menyatakan Dwi sebagai korban. "Akhirnya Biddokkes menjelaskan ke rumah sakit, dan uang Dwi Rp10 juta itu pun dikembalikan," ucap salah satu pembina korban di YPI, Vivi Normasari. 

Tapi masalah Dwi tidak berhenti sampai situ, karena masih perlu menjalani perawatan lanjutan, sedangkan tak semuanya dibiayai Biddokkes Polda Metro Jaya.

Menurut Sucipto dan Vivi, peran negara selama ini sangat minim untuk membantu para korban. Semua urusan menyangkut biaya perawatan pun tak semuanya dipenuhi. Selama ini, YPI dan para penyintas selalu berhubungan dengan LPSK sebagai lembaga yang punya wewenang sesuai undang-undang, untuk menangani korban kekerasan.

Sayangnya, LPSK tak memiliki cukup anggaran untuk membiayai keseluruhan biaya perawatan para korban. Bahkan, karena tak ada mekanisme dan aturan baku yang mengatur mengenai kompensasi korban teror, lembaga itu juga takut saat audit mereka akan disangka korupsi karena membuat diskresi. "Mereka khawatir, ini kan bentuknya inisiatif," jelas Sucipto.

Sucipto menjelaskan, bagi korban, umumnya perawatan yang mereka butuhkan tak hanya meliputi biaya penanganan pertama setelah peristiwa terjadi. Banyak korban masih harus menjalani perawatan lanjutan, karena mendapatkan gejala pusing, cacat permanen, dan trauma psikologi.

Untuk korban bom di depan Kedutaan Australia di Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka mendapatkan bantuan biaya dari Australia, sedangkan korban bom lainnya dari Yayasan Nurani Dunia. "Dana dari Australia sudah berhenti, mereka hanya sampai empat tahun setelah peristiwa," ucap Sucipto. 

Hal serupa juga dialami Yayasan Nurani Dunia, lembaga ini tak bisa selamanya membantu biaya pengobatan karena terkadang perawatan pun harus dilakukan di luar negeri. Sementara, "sekitar 60 persen dari korban itu menengah ke bawah secara ekonomi," jelas Vivi.

Beruntung, LPSK membuat terobosan dengan memberikan Kartu LPSK pada korban untuk biaya pengobatan. "Katanya sih enggak ada limit-nya," ungkap Sucipto.

Syaratnya, mereka bisa memberikan lampiran diagnosa dokter terhadap luka yang dialami akibat kejadian, termasuk diagnosa penyakit selama hidup. Tak hanya itu, mereka juga meminta keterangan dari kepolisian yang menyatakan bahwa mereka adalah korban.

Setelah itu, komisioner LPSK masih perlu merapatkan dulu untuk menyatakan bahwa korban ini berhak mendapatkan kartu berobat itu. Alhasil, sejak LPSK mendapatkan wewenang dari undang-undang untuk mendampingi korban teror pada 2014, dari sekitar 200 korban yang terdata YPI, baru 28 orang yang menerimanya. "Ada 24 di Bali, dan 4 di Jakarta," terang Vivi.

Padahal, jumlah korban seluruh aksi teror di Indonesia sejak 2000, diperkirakan ada lebih dari 700 orang. 

Hak Korban dan Kewajiban Negara

Menurut Vivi, semua syarat sudah dipenuhi korban dalam meminta hak mereka pada negara, sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Bahkan, "pada putusan Ismail (terdakwa terorisme) hakim menyatakan dalam putusannya, memberikan kompensasi pada korban meninggal dunia dan luka-luka, tapi sampai sekarang tidak juga diberikan. Saat kita kasih tahu LPSK, LPSK malah minta korban menunjukkan salinan asli putusan tersebut. Masa kita korban yang disuruh ke pengadilan dan meminta salinan?"

Sucipto menegaskan, permintaan kompensasi ini menyangkut kewajiban negara untuk menunjukan kehadiran mereka pada warganya. Hal ini menjadi fungsi perlindungan negara bagi warga. Baginya, negara seperti melupakan para korban. "Enggak, sama sekali pemerintah enggak bantu," tegas Sucipto.

Jika hal ini dibiarkan terus, dia yakin, semakin banyak penyintas yang akan meninggal akibat luka yang mereka alami. "Sejauh ini sudah ada sekitar lima orang yang meninggal karena syarafnya terganggu," terangnya.

Pijar harapan terbuka pada revisi Undang-undang Terorisme yang saat ini drafnya sudah di tangan DPR. Rencananya, para penyintas, termasuk LPSK dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) akan mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk memberikan masukan pada undang-undang ini. "Ya kita lihat saja nanti hasilnya," ujarnya sambil tersenyum.