Pengakuan Jujur Megawati soal Kesulitan Menjadi Presiden
- VIVA.co.id/Suparman
VIVA.co.id - Presiden kelima Republik Indonesia menyampaikan pidato ilmiah dalam sidang peganugerahan gelar kehormatan (honoris causa) untuknya di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat, pada Rabu, 25 Mei 2016.
Megawati mengungkapkan pengakuan jujurnya betapa menjadi presiden di era transisi demokrasi sekaligus menggantikan Abdurrahman Wahid itu tidak mudah. Di antaranya, Megawati merasa tak dapat berbuat banyak karena dia menjadi Presiden sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyat.
Posisinya sebagai mandataris MPR itu konsekuensinya ialah Presiden hanya berkewajiban menjalankan program atau amanat Majelis, bukan mewujudkan visi dan misinya membangun Indonesia. “Satu hal penting yang ingin saya tegaskan dan menjadi pembeda bahwa saya adalah Presiden mandataris MPR terakhir. Saya dipilih, diangkat, dan ditetapkan oleh MPR.”
Masalah utamanya adalah visi pembangunan yang diamanatkan MPR kala itu sudah tak sesuai dengan kondisi zaman yang telah berubah, yakni transisi dari pemerintahan Orde Baru menuju pemerintahan demokrasi, yang menuntut keterbukaan dan kebebasan. Pada saat yang sama, situasi perekonomian Indonesia kala itu masih dalam masa pemulihan dari krisis moneter pada 1998.
"Semua kebijakan politik yang saya ambil merupakan pelaksanaan ketetapan MPR. Jadi, bukan Presiden yang dipilih langsung dengan visi-misinya," ujar putri Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, itu.
Megawati berterus terang betapa tidak mudah memulihkan kondisi ekonomi negara kala itu. Pekerjaan paling berat ialah membereskan permasalahan kredit macet yang mencapai lebih 300 kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Penyelesaian kasus itu hanya diberi waktu selama tiga tahun. Pada saat yang sama, ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sedang mencapai titik terendah.
Soal lain yang tak kalah pelik ialah ancaman disintegrasi bangsa karena banyak daerah yang tak puas dengan pemerintah pusat berkeinginan merdeka atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. “…dan kerawanan konflik sosial akibat keterpurukan ekonomi serta rendahnya kohesivitas sosial," katanya.