Hutan Mangrove Manado Dinilai Kritis Akibat Reklamasi

Hutan bakau di Bawoho, Kelurahan Tongkeina, Manado, Sulawesi Utara.
Sumber :
  • Agustinus Hari/VIVA.co.id

VIVA.co.id – Kota Manado, ibu kota Sulawesi Utara, merupakan salah satu kota dengan keindahan memesona garis pantai sepanjang 18 kilometer, membentang dari selatan ke utara. Keindahan ini, menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik maupun internasional.

Namun, keindahan alam ini terancam sejak reklamasi merambah. Garis pantai mulai hilang, berubah menjadi kawasan hotel, mall, dan pusat perbelanjaan. Dampak lain reklamasi adalah hilangnya hutan mangrove yang menjadi penyeimbang ekosistem darat dan laut.

“Sejak 1998, Kota Manado telah mereklamasi areal pesisirnya untuk ekspansi properti melalui sembilan izin dan luasan mencapai 700 hektare, yang memukul mundur nelayan tradisional dari sumber nafkahnya,” ujar dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Rignolda Djalamaludin, Senin, 23 Mei 2016.

Dalam catatannya, reklamasi tahap pertama telah sukses melumat pesisir pantai di kecamatan Wenang, Sario dan Malalayang. Akibatnya, ribuan nelayan jadi kehilangan pekerjaan. Pengerjaan reklamasi tahap kedua, meliputi kecamatan Singkil, Tuminting, dan Bunaken. 

“Jika proyek yang disebut Boulevard II ini selesai, maka enam dari 12 kecamatan di Manado telah direklamasi. Sudah berapa banyak hutan mangrove yang dibabat,” ujar Rignolda.

Hal ini didukung oleh Sonny Tasidjawa dari Wildlife Conservation Society (WCS). Menurutnya, jika menyusuri garis pantai dari arah selatan Manado, yang berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Selatan, hingga ke utara dengan Kabupaten Minahasa Utara, nyaris tidak ditemukan lagi hutan
mangrove. 

“Hutan mangrove yang masih tersisa di Manado daratan, adalah di Bahowo. Bahkan ini jadi benteng terakhir mangrove, setelah gempuran reklamasi yang terjadi hampir dua dekade terakhir ini,” ujar Sonny salah satu aktivis LSM yang aktif mengadvokasi masyarakat pesisir pantai.

Bahowo merupakan salah satu dari empat lingkungan setingkat RT di Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. “Berbeda dengan masyarakat di tiga lingkungan lainnya, warga Bahowo memang menggantungkan hidup mereka dari laut. Karena memang kondisi geografis kampung ini yang berada di pinggiran pantai,” ujarnya.

Menurut Sonny, keberadaan hutan mangrove menjadi vital bagi masyarakat pesisir karena memiliki peran ekologis, biologis, juga ekonomis. “Secara fisik berfungsi sebagai penstabil lahan, yakni berperan dalam mengakumulasi substrat lumpur oleh perakaran bakau, sehingga sering kali memunculkan tanah timbul dan juga mampu menahan abrasi air laut. Selain itu juga mampu menghadang intrusi air laut ke daratan,” papar lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini.

Untuk fungsi biologisnya, lanjut dia, mangrove menjadi tempat berlindung, bertelur dan berkembang biak bagi ikan. Sementara secara ekonomis, menghasilkan kayu dengan nilai kalor tinggi sehingga bagus digunakan sebagai bahan baku arang.

Sayangnya, kata Sonny, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Manado tidak punya data rinci berapa banyak sisa hutan mangrove di ibukota provinsi Sulawesi Utara ini, termasuk jumlah kawasan yang hilang akibat reklamasi.

Berdasarkan penelusuran WCS, luas hutan mangrove yang tersisa di Kelurahan Tongkaina, termasuk di Bawoho, tinggal 84 hektare. “Artinya jika mangrove yang tersisa di Manado hanya di Tongkaina, kini Manado daratan (tidak termasuk Manado kepulauan seperti Pulau Bunaken dan Manado Tua) hanya punya 84 hektare mangrove,” ucap Sonny.

Sementara di sisi lain, proyek reklamasi Boulevard II sudah masuk Kecamatan Tuminting. “Artinya satu langkah lagi merambah Kecamatan Bunaken. Kita tidak tahu bagaimana rencana pembangunan Manado ke depan. Namun jika reklamasi terus menyisir ke utara termasuk Tongkaina, tidak akan ada lagi hutan mangrove di Manado,” keluhnya.

Melihat potensi hilangnya kekayaan alam daerah mereka akibat proyek reklamasi pemerintah, masyarakat Bahowo justru menyadari arti pentingnya keberadaan mangrove. “Kami menjaga dengan baik hutan mangrove di sini. Bahkan penanaman dilakukan rutin oleh masyarakat,” ujar Benyamin Loho, Kepala Lingkungan IV Bahowo, Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Manado.

Benyamin bilang, ada masalah yang belum bisa dipecahkannya, meski sudah rutin melakukan penanaman pohon mangrove. Baik secara swadaya masyarakat atau dibantu kelompok LSM. 

“Saya mengamati, mangrove yang kita tanam itu umurnya tidak lebih dari lima tahun. Entah ada hama, atau bagaimana. Awalnya pucuk, lalu ranting, dan kemudian dahannya rusak. Akhirnya pohon mangrove itu mati,” ungkap Benyamin.

Dia langsung memberikan contoh saat warga menanam sekitar 20 ribu bibit mangrove. Hasilnya, hanya sekitar 200 pohon saja yang tumbuh dan bertahan hidup. “Kami berharap memang harus ada penelitian dari kampus, untuk memecahkan masalah ini. Warga sudah sadar akan pentingnya keberadaan mangrove, namun kendala ini yang kami hadapi,” ujar Benyamin.

Menanggapi masalah itu, Akademisi Unsrat Manado Gustaf Mamangkey berjanji untuk mengkaji masalah ini, sehingga bisa mengetahui kendala yang dihadapi warga Bahowo itu. “Kami akan coba melakukan penelitian terkait masalah pertumbuhan mangrove ini,” ujar Gustaf yang juga aktif di Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Utara.

Sambil menunggu hasil kajian itu, menurut salah satu aktivis LSM Manengkel Solidaritas, Rio Puasa, upaya penyelamatan mangrove tetap akan terus dilakukan masyarakat. “Ada program untuk penanaman seribu bibit mangrove. Kita akan lihat lokasi mana yang cocok,” ujar Rio.

Tak hanya sekadar penanaman, Rio juga berencana membuat mangrove park di Bahowo. Lokasi itu akan berguna untuk penelitian sekaligus objek wisata. "Ada kawasan yang bisa dimanfaatkan warga dari sisi ekonomi, namun juga menjadi penyangga ekosistem pesisir,” ucapnya.

Keberadaan mangrove di Bahowo memang punya arti penting tak hanya bagi warga di kampung itu, tapi ikut menyokong kelestarian Taman Nasional Bunaken (TNB). Ini dikarenakan posisi Bahowo yang terletak berhadapan langsung dengan Pulau Bunaken, serta pulau lain yang masuk dalam kawasan TNB. “Menjaga mangrove di Bahowo, artinya ikut menjaga keberlangsungan Taman Nasional Bunaken,” ujar Rio.

Untuk sementara warga Bahowo masih bisa menarik napas lega, karena kelanjutan reklamasi masih menunggu terbitnya Peraturan Daerah (Perda) mengenai Zonasi. “Namun jika Perda itu diketuk, dan reklamasi terus dilanjutkan hingga ke Bahowo, artinya Manado kehilangan hutan mangrove terakhir,” ujar Rio.