Dewan Pers: Aparat Berlebihan Menyita Atribut Palu Arit

Kaus bergambar palu arit disita aparat Kepolisian dari seorang pedagang kopi di Kabupaten Malang pada Sabtu, 7 Mei 2016.
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.A. Pitaloka

VIVA.co.id – Dewan Pers menilai aparat Kepolisian multitafsir dalam penanganan isu komunis beberapa saat terakhir. Sejumlah razia dan penyitaan dilakukan terhadap berbagai benda dengan gambar palu dan arit, yang diasosiasikan sebagai lambang partai komunis. Padahal, penyitaan seharusnya berdasarkan keputusan pengadilan.

“Banyak terjadi multitafsir pada aparat dalam penanganan isu komunisme. Aturan dan undang-undang harus memiliki definisi jelas. Jika tidak, yang terjadi adalah pasal karet,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, ditemui di Malang pada Senin, 16 Mei 2016.

Pembubaran kegiatan pemutaran film Buru Tanah Air Beta di sekretariat AJI Yogyakarta pada 3 Mei 2016 adalah salah satu bentuk multitafsir terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999.

“Film dianggap sekelompok orang menyebarkan komunis, dan polisi membubarkan acara. Polisi juga menekan pemilik rumah untuk mengusir AJI yang mengontrak dan berhimpun di rumah itu,” katanya.

Film itu, menurutnya, tidak menyebarkan komunisme. Fim dokumenter itu berkisah tentang pengalaman mantan tahanan politik tahun 1965 yang kembali berkunjung ke Pulau Buru bersama anaknya. Berbagai pertanyaan sang anak kepada bapak tentang asal-usulnya mengapa dia berada di Pulau Buru, terekam dalam film itu.

“Tokoh dalam film bahkan mendapat anggota kehormatan di UGM (Universitas Gadjah Mada), dan diberikan oleh perwakilan pemerintah. Jadi ada pengakuan pemerintah kepadanya, kenapa disebut komunis,” kata Stanley, sapaan Yosep.

Dewan Pers pun mendukung perumusan Pedoman Penanganan Isu Komunis dari Kepolisian RI yang berlaku sama di seluruh Indonesia untuk mengikis tindakan yang multitafsir itu.

“Pekan lalu kami melakukan FGD (focus group discussion) yang dihadiri Imdadun Rahmat dari Komnas HAM, saya dari Dewan Pers, dan Prof Muladi. Juga ada Kapolri dan penasihat Kepolisian. Forum itu untuk merumuskan pedoman penanganan isu komunisme yang berlaku sama di seluruh Indonesia,” tuturnya.

Tindakan aparat Kepolisian dalam menangani berbagai benda dengan gambar palu dan arit dinilai keterlaluan. Razia buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang dilakukan pada masa lalu, kata Yosep, aneh jika kembali dilakukan sekarang.

Sebelumnya, di Malang seorang pedagang kopi yang mengenakan kaus band Exodus bergambar palu dan arit juga berurusan dengan polisi. Dia ditangkap dan diperiksa polisi namun kemudian dibebaskan karena dianggap tidak terlibat gerakan atau kelompok komunis. Tetap kausnya disita.

Yosep mengingatkan bahwa penyitaan dalam bentuk apa pun harus berdasarkan putusan pengadilan. “Jaksa pun tak boleh menyita tanpa ada putusan pengadilan,” katanya.

Pedoman penanganan isu komunisme itu sudah disahkan pada akhir pekan ini oleh Kepolisian. Fungsinya agar tak terjadi lagi multitafsir dan penindakan yang berlebihan di lapangan. 

Kepolisian di Malang belum memberikan konfirmasi tentang pedoman penanganan isu komunis itu. Kapolres Kota Malang, AKBP Decky Hendarsono, mengatakan bahwa aparat tetap mewaspadai upaya berbagai pihak yang menginginkan ideologi komunis hidup kembali di Indonesia.

“Jika memang memenuhi unsur-unsur pidana yang disangkakan, tentunya Polres akan melakukan upaya penegakan hukum terhadap pelakunya,” kata Decky. (ase)