LBH: Sita Atribut Berbau PKI Ancam Demokrasi
- VIVA.co.id/ Anwar Sadat
VIVA.co.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sangat menyayangkan terjadinya penggeledahan dan penangkapan warga yang menjual atribut berbau Partai Komunis Indonesia (PKI), beberapa waktu lalu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Pengacara Publik LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menilai, dalam melakukan penangkapan dan penyitaan tersebut aparat tidak mempunyai dasar hukum. Aparat juga dinilai telah melakukan pelanggaran.
Menurut Alghiffari, ada beberapa prosedur yang harus dilalui aparat dalam melakukan penggeledahan, penyitaan maupun penangkapan. Salah satunya yaitu, aparat harus menjelaskan siapa dirinya, identitas dirinya kepada orang yang mau digeledah ataupun orang yang barangnya akan disita.
Kedua, harus ada izin dari pengadilan untuk melakukan penyelidikan dan penggeledahan. Aparat penegak hukum juga harus menunjukkan terlebih dahulu basis hukumnya dan dasar mereka melakukan penyitaan dan penggeledahan. Selain itu, harus ada dasar dan tindak pidana apa yang dikenakan.
"Kami lihat dari kasus-kasus yang terjadi, ini tidak dilakukan sama sekali oleh kepolisian," ujar Alghiffari di LBH Jakarta, Kamis, 12 Mei 2016.
Sebelumnya, tim aparat gabungan TNI dan Polri mengamankan pemilik toko di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan lantaran menjual kaus bergambar mirip palu dan arit, yang dikenal sebagai lambang PKI.
Alghiffari mengatakan, peristiwa serupa tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dia menilai, tindakan aparat kepolisian dan TNI ini sangat berbahaya dan mengancam demokrasi di Indonesia.
"Bahkan di tempat lain yang termasuk disita adalah tabloid berita nasional dan kaus Munir. Kemudian ada kasus seorang anak ditangkap karena membaca buku Mao Tse Tung. Ini bahaya bagi demokrasi kita," katanya.
Dalam operasi tersebut, kata Alghiffari, semestinya TNI tidak berhak ikut campur dalam menangkap dan menahan seseorang. Menurut dia, pihak yang berhak melakukan penyitaan, penangkapan, atau bahkan penahanan hanya kepolisian.
"Kita lihat UU TNI (nomor) 34 Tahun 2004 tidak ada dasar hukum sama sekali TNI melakukan penangkapan dan penahanan warga sipil atas pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil," katanya.
"Tugas TNI mempertahankan kedaulatan dan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari ancaman luar," dia menambahkan.
Dengan adanya peristiwa ini, lanjut Alghiffari, seharusnya Presiden Joko Widodo menegur Panglima TNI bahwa tentara tidak boleh ikut-ikutan dalam hal ini.
"Presiden juga harusnya memerintahkan Kapolri tetap pada proses hukum yang berlaku (dalam melakukan penggeledahan, penyitaan dan penangkapan) bukan hanya berdasarkan asumsi, isu ataupun perintah," tuturnya. (ase)