Darurat, Pemerintah Harus Sahkan UU Anti Kekerasan Seksual
- REUTERS/Adnan Abidi
VIVA.co.id - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan Aktivis Perempuan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual menuntut agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang sebelumnya sudah masuk prolgram legislasi nasional (Prolegnas) 2016.
Mereka makin keras menuntut hal terseut, menyusul adanya pemerkosaan yang terjadi terhadap seorang pelajar SMP di Bengkulu berinisial YY, (14) pada awal April 2016 lalu.
Koordinator Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual, Tyas Widuri, mengatakan peristiwa yang menimpa YY merupakan hal yang mengejutkan, mengingat korban merupakan anak di bawah umur.
"Korban saat itu baru saja pulang sekolah dibunuh dan diperkosa oleh 14 orang pelaku yang beberapa di antaranya masih merupakan anak di bawah umur," ujarnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa, 3 Mei 2016.
Tyas mengatakan setiap tahunnya kasus pemerkosaan semakin meningkat. Berdasarkan catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pada tahun 2016 ini, kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dari data yang didapat dari Komnas Perempuan, bentuk kekerasan seksual tertinggi yakni, perkosaan sebanyak 72 persen atau 2.399 kasus, pencabulan 18 persen atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5 persen atau 166 kasus.
"Hal ini menunjukkan bahwa siapa pun dapat menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja bahkan tempat-tempat yang selama ini kita anggap aman," ujarnya.
Upaya lain yang perlu dilakukan pemerintah, lanjutnya, yakni penguatan pendidikan seksual komprehensif untuk mencegah kekerasan berbasis gender.
"Kami ingin agar pemerintah memasukkan pendidikan gender sebagai kurikulum dalam pendidikan," tuturnya.