Tito: Tak Masalah Korbankan Kebebasan Sipil Demi Keamanan

Komjen Pol Tito Karnavian.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Tito Karnavian, tetap meminta masa penahanan terduga teroris itu hingga 6 bulan. Norma itu sudah diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme yang diajukan ke DPR.

Dia mengakui ada pandangan bahwa masa penahanan itu terlalu lama. Namun, ia yakin dengan berkaca pada peristiwa di lapangan, masa 6 bulan justru sudah layak. Menurutnya, dalam persoalan itu ada dua aspek yang harus dilihat yakni civil liberty (kebebasan sipil) dan national security (keamanan negara).

"Kalau national security kita anggap lebih penting karena ancaman tinggi, maka mau nggak mau akan mengorbankan civil liberty sedikit," kata Tito, saat ditemui usai acara 'National Counter Terrorism Agency, The Breafing in Counter-Terrorism, Hotel Borobudur', Jakarta, Selasa, 19 April 2016.

Sebaliknya, ketika negara dianggap sangat aman, tanpa ada gerakan-gerakan kelompok terorisme atau kekerasan lainnya maka pendulum dari RUU itu bisa memberi kebebasan penuh kepada civil liberty tersebut.

Namun, mantan Kapolda Metro Jaya itu kembali mengingatkan bahwa Indonesia pernah mengalami teror di Jalan MH Thamrin, kemudian ada pula di Lahore Pakistan, bom di Istanbul Turki, dan ada orang Uighur yang ikut di Poso.

Lalu juga rencana pengeboman di Bali yang berhasil digagalkan oleh aparat. Menurut dia, kejadian-kejadian itu juga harus dilihat oleh Dewan dan masyarakat.

"Ada juga ratusan orang berangkat ke Suriah dan kembali, ini ancaman. Ya silakan dinilai, DPR mnilai, apakah pendulumnya sudah harus masuk ke perlindungan ke keamanan nasional. Kalau dianggap itu maka civil liberty harus dikorbankan sedikit. Di antaranya menambah masa penangkapan dan penahanan, why not," tutur Tito.

Namun, Tito tidak bisa memaksakan pemahaman itu kepada masyarakat dan DPR. Bahwa, masa penahanan terduga teroris tetap 6 bulan seperti yang diharapkan oleh institusinya.

"Kalau dianggap, ‘Oh ini aman’, nggak apa-apa, nggak perlu revisi, dan sebagainya. Ya nggak apa-apa juga. Tapi nanti kalau ada apa-apa ya tanggung jawab. Kami kan kepentingannya untuk masyarakat," tutur mantan Kepala Densus 88 Anti-Teror Mabes Polri itu.