YPKP 65 Tuntut Kepolisian Tindak Tegas Kelompok Intoleran
- VIVA.co.id/ Foe Peace Simbolon
VIVA.co.id – Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65, Bedjo Untung menuntut Kepolisian dan Kejaksaan segera tindak tegas kelompok intoleran, yang kerap meneror korban kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada 1965 dan setelahnya.
Hal ini dikemukakan Bedjo, menyusul adanya pembubaran terhadap pertemuan yang mereka gelar, di kawasan Puncak, Cianjur, Kamis 14 April 2016.
"Tuntutan kami ini, sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi (Joko Widodo) belakangan ini," katanya di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 15 April 2016.
Dia menjelaskan, pembubaran tersebut terjadi saat pertemuan anggota YPKP 1965 di kawasan Puncak kemarin malam. Dalam pertemuan itu, mereka hendak membahas informasi dan undangan penyelenggaran Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965”.
"Karena kami dilibatkan dalam simposium tersebut, maka kami menggagas untuk berkumpul terlebih dulu," ujarnya.
Modus pembubaran yang dilakukan oleh salah satu kelompok intoleran itu, menurut dia, yaitu dengan cara menekan pemilik wisma, agar YPKP 65 tidak menggelar perkumpulan di tempat itu.
Kemudian, pihak Kepolisian, yang sudah hadir sejak pagi di lokasi itu, melobi YPKP 65 agar menghentikan kegiatan itu, karena masyarakat intoleran tidak menghendaki. "Akhirnya, kami gagal menggelar pertemuan," ujarnya.
Lebih lanjut, Bedjo mengatakan, ada sebanyak 500 personel polisi dan TNI, serta 1.000 orang massa intoleran yang membubarkan pertemuan tersebut. "Massa tersebut mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP)," kata Bedjo
Pembubaran tersebut, lanjut dia, bukan yang pertama kali terjadi. Selama pemerintahan Jokowi, lebih dari 30 kali penyerangan dan pembubaran oleh berbagai macam kelompok intoleran.
Bukan hanya tuntutan terhadap Kepolisian, Bedjo juga menuntut, agar Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan agar merealisasikan janjinya untuk tidak ada lagi pembubaran diskusi.
"Kami juga minta Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Darat untuk dapat mengendalikan bawahannya, agar tidak melakukan operasi yang tidak perlu yang bahkan mengurangi hak konstitusional warga negara," kata Bedjo. (asp)