KPK Tunda Pemeriksaan Direktur Sedayu Grup

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha (kanan).
Sumber :
  • ANTARA/Andrea Asih

VIVA.co.id – Direktur PT Agung Sedayu Group, Richard Halim Kusuma, batal menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 14 April 2016.

Sedianya, Richard akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, mengatakan pemeriksaan terhadap Richard dijadwal ulang menjadi pekan depan. "Penyidik memutuskan untuk membatalkan pemeriksaan Richard pada hari ini dan menundanya pekan depan," kata Priharsa saat dikonfirmasi.

Menurut Priharsa, penyidik saat ini fokus mendalami usulan-usulan Raperda dari pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap pemeriksaan sejumlah saksi.

Pada pemeriksaan hari ini, penyidik menjadwalkan pemeriksaan sejumlah saksi. Di antaranya Heru Budi Hartono (Kepala BPKAD), Subandono Diposaptono (Direktur Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan), Berlian Kurniawati (Karyawan Agung Podomoro Land), Cesar M Dela Cruz (Direktur Keuangan Agung Podomoro Land) dan Miarni Ang (Direktur Legal Agung Podomoro Land).

"Penyidik ingin fokus dulu untuk mendalami detail usulan Raperda dari Pemprov dan landasan-landasan hukum, serta kebijakan terkait zonasi dan tata ruang," kata Priharsa.

Pada kasus ini, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APL), Ariesman Widjaja, beserta karyawannya, Triananda Prihantoro, terungkap tengah mencoba menyuap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, hingga miliaran Rupiah.

Suap diduga diberikan terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Dua Raperda tersebut diketahui memuat aturan-aturan terkait proyek reklamasi dan menuai polemik dalam pembahasannya hingga berkali-kali tertunda. Disinyalir pembahasannya mandek lantaran terkait dengan aturan soal nilai tambahan kontribusi yang harus diberikan pengembang ke pemerintah sebesar 15 persen.

Diduga hal tersebut yang menjadi alasan penyuapan dari Bos Agung Podomoro kepada pihak DPRD DKI Jakarta. Namun diduga terdapat pihak lain juga yang memberikan suap pada anggota Dewan.

Saat ini, penyidik baru menetapkan tiga orang tersangka, yakni Ariesman, Triananda serta Sanusi. Namun KPK masih menelusuri mengenai adanya keterlibatan pihak-pihak lain.

Sebagai pihak penerima suap, Sanusi disangka telah melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sementara itu, sebagai pihak pemberi, Arieswan dan Triananda diduga telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.