Dirjen: Pendamping Dana Desa dari Kader Partai Akan Dipecat
- ANTARA/Andika Wahyu
VIVA.co.id - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, angkat bicara seputar aksi demo ratusan pendamping desa program Dana Desa. Pendemo menilai, rekrutmen oleh kementerian tidak transparan.
Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa PDTT, Ahmad Erani Yustika mengatakan, pihaknya sudah melakukan seleksi dengan transparan. Tapi, kalau ada oknum yang bermain, dia berjanji akan memberi sanksi.
"Kami mengatakan siapapun pihak yang bersalah dalam proses seleksi itu harus dikenai sanksi atau penalti karena tidak mengikuti aturan main," ujar Ahmad Erani dalam keterangan persnya, Rabu, 23 Maret 2016.
Begitu juga dengan tuduhan, bahwa pendamping desa harus orang netral dan bukan terikat oleh partai apapun.
Dia menegaskan, dalam kode etik pendamping desa, sudah tertuang bahwa pendamping tidak punya afiliasi dengan partai. Atau dia bukan anggota dari partai tertentu. "Jadi kalau dia masuk struktur partai dia akan langsung dipecat," ujarnya menegaskan.
Erani mengaku, kabar kalau ada syarat-syarat pendamping harus bergabung ke dalam salah satu partai tertentu, juga terjadi pada 2015.
Ahmad Erani menceritakan, saat itu kejadiannya di Sukabumi Jawa Barat. Seorang yang mendaftar, jelasnya dari kabar itu, disodorkan untuk harus meneken surat kontrak bergabung dengan partai tertentu melalui DPC Sukabumi.
Tapi setelah diselidiki ternyata informasi itu tidak benar. "Kami saat itu langsung komunikasi. Saat itu responsnya orang yang bersangkutan tidak pernah melakukan kontrak itu. Karena tidak pernah kita minta DPC yang dicatut namanya melaporkan ke polisi."
Sebelumnya, Aliansi Pendamping Profesional Desa, menyampaikan protes mereka terhadap kebijakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar.
Koordinator aliansi, Uun Untamiharja usai ditemui Seskab Pramono mengatakan, pihaknya menyampaikan berbagai tuntutan. Uun mengatakan, dana desa yang digelontorkan puluhan triliun lewat APBN ini, justru dijadikan proyek.
"Telah terjadi praktek tata kelola yang tidak baik, dimana sebagian besar program dukungan bagi desa tetap menggunakan pola pendekatan proyek, khususnya terkait pengadaan barang dan jasa, khususnya pendamping yang dilakukan secara terpusat," jelas Uun.
Praktik tidak baik lainnya, lanjut Uun, adalah proses rekrutmen Pendamping Desa yang tidak jelas dan tidak transparan. Seperti, penentuan daftar panjang dan pendek pendamping justru ditentukan oleh Kementerian.
"Adanya pendamping yang tidak memenuhi persyaratan dasar seperti tahun kelulusan dan pendidikan, lulus seleksi," katanya. Sebab, dalam aturannya, harus lulusan S1. Tetapi, justru dalam prakteknya, pihaknya menemukan ada yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut.
(mus)