HRW: 18.800 Pasien Gangguan Jiwa di Indonesia Terpasung

Dua kakak beradik yang dipasung karena gila
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andi Baso Hery

VIVA.co.id – Human Right Watch (HRW) mengungkapkan adanya perampasan hak pada penyandang disabilitas psikososial atau pengidap gangguan kejiwaan, dalam proses pengobatan yang mereka jalani di berbagai institusi kesehatan, baik yang dimiliki pemerintah atau swasta.

Hal ini meliputi pemasungan, kekerasan fisik dan seksual, serta menjalani pengobatan secara paksa. Termasuk terapi elektro-syok, diisolasi, dibelenggu, dan dipaksa menerima kontrasepsi.

Di Indonesia, berdasarkan catatan Kementerian Soial, total ada sekitar 57.000 orang yang dianggap menyandang disabilitas psikososial. 

"Data terbaru dari pemerintah menunjukan masih ada 18.800 orang masih dipasung, itu tahun 2013," ujar peneliti HRW di Indonesia, Andreas Harsono, saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 21 Maret 2016.

Menurutnya, tindakan ini terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap penyandang disabilitas psikososial. Kemudian, didorong stigma masyarakat yang menganggap mereka tidak bisa disembuhkan, menjadi aib atau tak bisa bekerja layaknya manusia umum.

Pandangan ini kemudian membuat perlakuan tidak manusiawi terhadap mereka, menjadi sesuatu yang lumrah.

"Orang yang punya disabilitas psikososial, sama dengan penyandang disabilitas lainnya. Seperti kalau anda kecelakaan, kemudian cidera di kaki secara permanen. Nah ini kecelakaan secara mental," ujar Andreas.

Berdasarkan laporan HRW berjudul Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia, tumbuh kepercayaan kalau kondisi kesehatan jiwa disebabkan kerasukan roh jahat atau setan, karena dirinya pendosa, melakukan perbuatan amoral, atau kurang iman. 

Alhasil, banyak masyarakat yang membawa penyandang disabilitas psikososial ke institusi pengobatan alternatif, yang dikelola pemuka agama setempat atau dukun. Di sinilah, umumnya pemasungan dipilih sebagai metode pengobatan alternatif yang dipercaya menyembuhkan.

"Padahal, kalau anda tidak tahu mereka pernah dipasung, mereka dikasih obat dengan dosis yang baik, bisa bekerja," kataAndreas.

Baca selanjutnya (Kasus pasung)

***

Kasus pasung

Dalam satu kasus yang ditemukan HRW, seorang ayah dari perempuan penyandang disabilitas psikososial, mengunci putrinya di sebuah kamar setelah berkonsultasi dengan paranormal karena anaknya merusak tanaman tetangga. Ketika dia mencoba menggali jalan keluar dari ruangan itu, orangtuanya mengikat tangannya di belakang punggung. Dia hidup tanpa busana di atas serakan kotoran, makan, tidur, buang air kecil dan buang hajat di ruangan tersebut selama 15 tahun, sebelum akhirnya dilepaskan.

Dari penelitiannya, Andreas mengungkapkan, kasus yang paling lama didokumentasikan HRW, adalah seorang perempuan yang dikurung dalam kamar selama hampir 17 tahun.

"Kami pernah wawancara, 17 tahun di rumah sakit jiwa karena tidak dapat obat, dan perawatan," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga dinilainya tidak memberikan perhatiannya serius. Hal ini terbukti dengan kurangnya tenaga psikiater yang ada di Indonesia, karena hanya ada 48 rumah sakit jiwa. Delapan provinsi tak punya rumah sakit jiwa, dan tiga provinsi tidak punya psikiater. Di seluruh Indonesia hanya ada 600 hingga 800 psikiater.

"Satu psikiater terlatih bisa melayani 300.000 hingga 400.000 orang," ungkap Andreas.

Untuk itu, HRW mendesak pemerintah mengimplementasikan program Indonesia Bebas Pasung, yang bertujuan menghapus praktik ini pada 2014. "Mereka (penyandang disabilitas psikososial) setiap hari menderita, agar panti sosial tidak lagi melakukan pemasungan, disetrum, itu harus segera," tegas Andreas.

Selain itu, mengubah metode pengobatan rumah sakit jiwa, menjadi berbasis masyarakat. Termasuk mengganti obat-obatan dan terapi yang diberikan untuk penyembuhan. Melarang semua bentuk perlakuan dan perawatan paksa, termasuk terapi elektrokonvulsif (ECT), tanpa persetujuan.

"ketiga hukum di Indonesia, Undang-undang mengenai disabilitas dan Undang-undang Kesehatan Jiwa harus diamandemen, agar memberikan hak atau opini pada pasien. Selama ini tidak diberikan hak, mereka harus diberikan haknya kembali," tutur Andreas.

Saat ini hampir tidak ada pasien di rumah sakit jiwa mengikuti pengobatan secara sukarela. Mereka umumnya mengaku dipaksa memasuki institusi itu, atau ditelantarkan keluarganya disitu. Menurut Andreas, seringkali keluarga meninggalkan alamat dan nomor telepon fiktif, agar institusi tidak bisa melacak keberadaan mereka.

"Masyarakat harus belajar ini masalah disabilitas mental psikososial, sama halnya dengan kecelakaan, orang bisa kehilangan pendengaran, kehilangan tangan. Kalau ini di dalam otak, ada keseimbangan kimia yang berubah," ucapnya.

Tak hanya itu, perusahaan juga diharapkan mau menerima mereka yang dinyatakan sembuh sebagai tenaga kerjanya, sehingga kondisi psikologis mereka tidak kembali tertekan.

"Ada enam orang yang dinyatakan sembuh, sudah bekerja semua, ada yang jadi tukang parkir, pedagang, dan lain-lain. Kami juga contoh seorang perempuan, empat tahun (dirawat) di Brebes, tahun lalu dibebaskan, tapi keluarganya tidak berobat lagi akhirnya kembali lagi (sakit)," kata Andreas.