Belanja di Pasar Ini Pakai Mata Uang Bambu
Senin, 21 Maret 2016 - 09:33 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Umumnya pasar di Indonesia menggunakan mata uang rupiah sebagai alat tukar atau transaksi jual-beli. Namun ada sebuah pasar tradisional yang memiliki tradisi unik, yakni menggunakan mata uang bambu sebagai alat transaksi.
Fenomena pasar unik itu ada di Pasar Papringan. Sebuah pasar tradisional yang terletak di Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Disebut sebagai Pasar Papringan karena lokasi pasar memang berada di kawasan hutan rumpun bambu yang teramat lebat.
Pasar Papringan tidak setiap hari buka. Sebagai pasar yang lekat dengan budaya masyarakat, pasar itu hanya buka setiap 35 hari sekali, tepatnya setiap Minggu wage, hitungan hari dalam penanggalan Jawa yang kerap disebut selapanan.
Paling unik adalah mata uang yang digunakan sebagai transaksi. Para pengunjung tidak dibolehkan menggunakan uang biasa untuk membeli. Pasar itu memiliki mata uang sendiri yang disebut pring, bahasa Jawa yang berarti bambu.
Mata uang pring dibuat khusus dari kayu berbentuk koin. Dua sisi mata uang memiliki perbedaan, yakni satu sisi bercap Pasar Papringan dan sisi lain bertuliskan nilai mata uang. Nominal uangnya dari 1 pring, 2 pring, 10 pring, dan 50 pring. Jika dikurskan, satu pring sama dengan Rp1.000. Setiap pengunjung yang hendak berbelanja wajib menukarkan dahulu uang rupiahnya dengan mata uang khusus itu.
Baca Juga :
Makanan olahan
Menariknya lagi, seratus persen pedagang di pasar itu adalah merupakan warga asli Desa Caruban. Tujuan pembuatan pasar adalah untuk memberdayakan potensi ekonomi masyarakat sekitar.
Selain menjual barang, biasanya warga memperdagangkan aneka makanan olahan khas yang dipanen di desa itu. Di antaranya, makanan ringan seperti glanggem, srowol, lentheng, mendut, gemblong, grubi, jenang, kimpul kukus, kacang, hingga nasi pecel dan bubur. Ada pula es kelapa muda, aneka macam kopi, dan kefir atau minuman dari fermentasi susu murni.
Meski tergolong baru, pasar yang baru dibuka perdana pada 11 Januari 2016 itu kini ramai ribuan pengunjung. Warga bahkan datang dari berbagai luar daerah Kabupaten Temanggung.
Pemberdayaan ekonomi
Singgih Susilo Kartono (48 tahun) adalah penggagas pasar langka nan unik ini. Pria lulusan Desain Produk pada Institut Teknologi Bandung itu menjelaskan bahwa berdirinya pasar berawal dari kegelisahan untuk memberdayakan warga sekitar.
"Awalnya tidak mudah mewujudkan ini. Saya gagas sejak sepuluh tahun silam. Waktu itu saya sedih lihat warga desa saya yang produktif justru banyak mengadu nasib ke kota. Padahal desa harusnya jadi pusat kegiatan ekonomi," kata Singgih, baru-baru ini.
Untuk lahan yang digunakan sebagai lokasi pasar, Singgih mengaku harus menyewa kawasan papringan di Caruban dari warga. Lahan seluas 1.000 meter persegi itu kemudian dibersihkan, dibuat jalan dari susunan batu, hingga tampak seperti taman yang indah.
Pekerjaan selanjutnya adalah mencari pedagang pengisi pasar. Ia menemui warga dari rumah ke rumah dan menawari mereka untuk berjualan.
“Di situlah sulitnya, saya harus meyakinkan warga. Gelaran pertama yang berjualan hanya 15 orang. Tapi saya berhasil mendatangkan pembeli. Ternyata ramai, meski promosi hanya lewat media sosial,” kata ayah dua putra itu.
Konsep revitalisasi desa dan perjalanan Pasar Papringan yang digagas Singgih membuat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang datang ke lokasi itu sempat terkagum-kagum. Ia pun mengiyakan ketika Singgih meminta bantuan agar Desa Caruban dijadikan desa mandiri berdikari.
“Syarat desa mandiri berdikari itu dua: desa harus dapat swasembada pangan dan swasembada energi. Saya kira Caruban memiliki potensi besar. Bahkan model ini bisa diterapkan di daerah lain," kata Gubernur.